Pesatnya perkembangan dunia teknologi informasi dalam kurun waktu satu dasawarsa ini telah membuat kita menjadi manusia yang serba instan dan digital. Tanpa kita sadari, perlahan tapi pasti banyak peninggalan budaya yang kita warisi kian terkikis. Ditengah kondisi yang kekinian, produk budaya adalah sesuatu yang semakin tampak kekunoan di mata generasi muda, tidak banyak yang mau melestarikannya.
Sejatinya budaya adalah sebuah identitas bangsa, mencontoh dari Jepang, ditengah majunya ekonomi negara tersebut, tapi toh mereka masih mempertahankan budaya aslinya seperti memakai Kimono, sehingga kalau kita melihat Kimono ingatan kita langsung tertuju kepada sebuah negara bernama Jepang. Korea Selatan yang sukses mengekspor budaya popnya toh mereka juga tak malu-malu mempertahankan budaya aslinya bernama Hanbok yang digandrungi remaja Indonesia. Malaysia karena mereka tidak memiliki budaya yang sekaya Indonesia nekat mencuri dan mengadaptasi sebagian budaya Indonesia. Pelatih gamelan saya sering diundang mereka untuk mengajar anak-anak muda di Malaysia.
Ironis memang, kita yang memiliki warisan yang sedemikian kayanya tapi tak pernah sedikitpun berusaha untuk mempertahankannya. Secara pribadi saya dan teman-teman yang tergabung dalam komunitas anak muda Jakarta pecinta gamelan membentuk wadah yang bernama Samurti Andaru Laras. Ini adalah bentuk kecil dari upaya kami menghidupkan kembali budaya bangsa yang selama beberapa dekade mati suri. Sebagian besar anak muda kalau mendengar kata gamelan yang terlintas dalam benak mereka adalah musik yang menyeramkan, membosankan dan tampak tidak modern dibandingkan dengan musik pop atau musik barat. Padahal gending-gending gamelan adalah musik yang filosofis. Syair-syairnya mengandung wejangan yang penuh makna. Komunitas kami rutin mengadakan latihan setiap minggu. Terbentuk dari berbagai kalangan dan profesi tidak membuat kami menjadi segan untuk bertukar pikiran.
Samurti Andaru Laras adalah wadah bagi mereka yang suka dengan budaya bangsa khususnya gamelan. Gamelan bagi kami adalah pelajaran hidup. Dalam setiap nadanya membutuhkan rasa untuk menikmati, tidak sekedar mendengarkan alunan sebuah melodi. Gamelan selalu diawali dengan gong besar dan ditutup pula dengan gong besar, menggambarkan bahwa kita berasal dari Tuhan yang maha besar dan berakhir kembali kepadaNya. Dalam satu sajian musik ritme gamelan bisa naik-turun-datar- cepat dan melambat kemudian berakhir, seperti itulah gambaran kehidupan manusia yang tercermin dari gamelan.
Gamelan bukanlah musik individual yang bisa bermain sendiri, gamelan menggambarkan kebersamaan. Dalam sebuah ensamble musik, gamelan biasanya diawali oleh Bonang, kemudian Kendang sebagai penuntun irama, Saron, Demung, Peking akan memainkan peran sebagai pengisi nada, Kenong dan Kempul akan menjadi tanda berakhirnya satu baris gatra. Semua ricikan (alat gamelan) memainkan perannya masing-masing. Ketika gamelan memainkan jenis lagu Ketawang atau Ladrang yang bertempo lambat bonang akan memainkan peran menghias lagu yang disebut sekaran atau kembangan. Itulah gambaran kehidupan manusia saat berada dititik bawah atau lambat, hendaknya ada orang yang berperan sebagai penghias atau penyemangat kehidupan.
Memainkan gamelan membutuhkan sebuah Roso, Rumongso dan Ngrumangsani. Sebuah rasa, merasakan dan ikut menghargai, semuanya kembali kepada kita sebagai generasi penerus bangsa, pertanyaan terbesarnya adalah apakah kita sudah memiliki roso, rumongso dan ngrumangsani terhadap peninggalan budaya yang adiluhung tersebut? Karena ngurip-urip (menghidupkan) lebih dari sekedar nguri-uri (melestarikan). Salam
1 comment
Masya Allah ini kereen..isi tulisan penuh makna dan filosofis, tp ga berat, enak bgt dibaca.. suka sama diksinya. Baca lg artikel2 mas Achi buat pelajari gaya bahasa nih.. 😀
Anyway kalo SAL recruit, count me in ya Mas? 🙂