Napak Tilas di Bumi Majapahit

0 Shares
0
0
0

Sekelumit kisah perjalanan napak tilas di Bumi Majapahit.

“Untuk mewujudkan mimpi kita semua, aku bersumpah akan menjauhi hamukti wiwaha sebelum cita-citaku dan cita-cita kita bersama itu terwujud … Aku bersumpah untuk tidak beristirahat. Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa … ” –  Sumpah Palapa 

Gelegar suara Maha Patih Gajah Mada serasa menggema saat saya dan teman-teman menyusuri kawasan Trowulan Mojokerto. Kutipan dari novel Gajah Mada itu mampu membuat kami melakukan perjalanan napak tilas di bumi Majapahit. Tujuh abad lalu kawasan ini merupakan wilayah ibukota kerajaan Majapahit dengan sebutan Kotaraja.

Baca juga: BAGAIMANA JIKA KAMU JADI TAMU DI ISTANA MAJAPAHIT SELAMA SATU HARI?

Bumi Wilwatika

Seolah dibawa kembali pada kejayaan masa lalu, saya begitu terkagum-kagum dengan berbagai peninggalan yang tersebar di sekitar Trowulan. Pemberhentian pertama kami adalah Museum Majapahit, bangunan utama yang berbentuk Joglo ini mempunyai ratusan koleksi artefak peninggalan kerajaan Majapahit. Sebuah prasasti berbentuk Surya Majapahit menjadi ikon utama di ruangan ini. Sebagai simbol dari Bumi Wilwatika

Di bagian kanan ruangan, tersimpan koleksi benda-benda rumah tangga seperti lampu, grendel pintu, gantungan leher hewan ternak hingga sumur kuno yang tampak terawat rapi. Di sisi kiri berjajar arca dan deretan patung terakota. Sementara di bagian luar terdapat peninggalan sisa-sisa bangunan rumah jaman majapahit lengkap dengan replikanya. Ini merupakan museum terbaik yang pernah saya kunjungi. Sarat informasi dan sangat terawat.

Kami melanjutkan perjalanan napak tilas ini ke lokasi berikutnya yaitu, Candi Bajang Ratu. Sebuah candi berbentuk Paduraksa atau gapura dengan penutup di atasnya. Lokasinya tidak jauh dari Museum Majapahit. Dari kawasan ini kami berlanjut ke Candi Tikus, bangunan berupa kolam dengan miniatur candi terakota di bagian tengahnya. Konon ini merupakan kolam pemandian putri raja sekaligus sebagai tempat peribadatan.

Candi Tikus

Siang yang terik, matahari tepat bersinar di atas kepala. Perjalanan kami masih berlanjut menuju Pendopo Agung dan Makam Troloyo. Ini merupakan komplek pemakaman Islam kuno zaman Majapahit. Setiap hari situs ini ramai dikunjungi peziarah. Salah satu ciri khas makam jawa adalah adanya dua buah cungkup atau kijing yang berada di atas makam. Untuk makam tertentu cungkup-cungkup ini biasanya ditutup dengan kain mori. Di sudut belakang tepat di sebelah pendopo terdapat sumur kuno yang airnya layak diminum. Kami sempat mencicipi segarnya air sumur yang tidak seperti air mentah ini.

Dari sini kami menuju kolam Segaran, sebuah kolam kuno dengan luas dua kali lapangan sepak bola. Zaman dahulu raja Majapahit menjamu tamu-tamu kerajaan di tepi kolam ini. Mungkin semacam barbecue party di pinggir kolam pada zaman sekarang. Konon kabarnya, begitu jamuan makan selesai, raja Majapahit memerintahkan pelayannya untuk membuang piring-piring emas bekas jamuan ke dalam kolam.

Ini untuk memberi kesan kepada tamunya bahwa betapa makmurnya kerajaan Majapahit. Di tepi kolam ini pula saya tidak sengaja menendang gelas minum milik para pemancing hingga jatuh ke dalam kolam. “Saya sedang mempraktikkan gaya raja Majapahit,” kelakar saya. Hehehe. Perut mulai keroncongan, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sekaligus menikmati makan siang di sebuah warung yang sudah kami incar tadi pagi, namanya Sambal Wader berada tepat di depan kolam Segaran. Kuliner khas ikan Wader dengan sambal terasi mentah dan lalapan.

Usai menikmati makan siang dan menyusuri kolam Segaran, kami menuju desa wisata Bejijong. Rumah-rumah penduduk disini dibangun layaknya perumahan kuno pada zaman Majapahit, sangat menarik! Di desa ini terdapat pula patung Buddha tidur seperti layaknya di Bangkok. Lokasinya berada tepat di dalam komplek Mahavihara Majapahit. Alunan musik gamelan yang dimainkan secara hidup melengkapi nuansa magis kawasan wisata ini. Situs ini merupakan komplek wisata yang tidak berhubungan langsung dengan peninggalan Majapahit.

hananan-com-36
Mejeng di Desa Bejijong 😀

Stupa Buddha Tidur

Hari mulai sore, matahari sudah beranjak ke arah barat menuju peraduannya, namun perjalanan kami masih berlanjut menuju Candi Brahu dan Candi Wringin Lawang. Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Buddha. Bentuknya menyerupai gapura dengan atap tertutup (paduraksa). Beruntung sekali kami tiba sore hari. Kami puas mengambil gambar karena sepi pengunjung. Perjalanan kami berakhir di Candi Wringin Lawang, konon di sini pula terdapat pintu gerbang Purawaktra.

Desainnya berbentuk gerbang candi bentar dengan atap terbelah. Gaya arsitektur seperti ini diduga muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan di Bali. Di Candi Wringin Lawang dan Candi Bajang ratu kami sempat mengabadikan gambar dengan objek buku novel Gajah Mada yang mempunyai cover di kedua candi ini. Senja sudah berganti malam. Napak tilas bumi Majapahit ini kami akhiri dengan berendam di kolam pemandian air panas Ubalan.

Candi Wringin Lawang

Akhirnya kami hanya menitipkan pesan kepada teman-teman, jadilah manusia modern yang beruntung menyaksikan peradaban dunia masa lampau. Salam.

 

0 Shares
17 comments
  1. Seru banget ini kalau tau sejarahnya. Ada guide-nya kan, Mas? Soalnya kalo ke beberapa candi kadang suka nggak ditawarin guide dan karena beberapa temen nggak terlalu tertarik sama sejarahnya jadi suka skip sama guide, malah fokus buat foto-foto doang 🙁

  2. Kok, aku paling ngiler malah sama sambel wadernya ya, hehe
    Udah ngebayangin, makan wader goreng yang kriuk & gurih, dengan sambal super pedas, dipinggir kolam yang dasarnya penuh emas! dan hijab berkibar diterpa angin sepoii…. heemmmm… merem melek bener-bener… haha

    cukup segini aja imajinasinya, kalau diterusin ngelantur 😀 (but, I truly imagine it… hehe)

  3. Keren tulisannya, ga perlu bc 2x bagiku yg kdg kurang bs nangkep kalo baca tulisan yg mbahas sejarah, wkwkkw..
    dan.. suka sekali insight di kalimat terakhir..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like