“I’m sick of it…”
Dua cangkir kopi saling beradu tatap. Entahlah, satu di antara mereka menyimpan dingin dendam, sedangkan cangkir lain menuangkan kehangatan. Hei! Berapa gulir waktu yang kamu diamkan di seberang meja? Sudah lama kita sepi dari sapa.
Aku tahu ini bukan hal yang mudah, membebaskanmu merupakan pilihan tersulit dari yang paling sulit. Namun, otakku kian sadar bahwa kebebasanmu adalah kebahagiaanmu. Tak kumungkiri bahwa sedikit hari-hari kemarin adalah anugerah singkat yang diberikan Tuhan untuk mengenalmu. Mengenalkan kerinduan yang belum pernah kutemui sebelumnya. Ah, rindu adalah jarak tersingkat untuk menyapamu, meski menurutmu itu adalah kata yang paling absurd.
Di atas meja cangkir-cangkir kopi sudah mulai mendingin, untuk terakhir kalinya aku membayarkan tagihanmu. Menatapmu lekat sebelum hujan bulan Desember menghapus segala keluku.
Gerbong KRL membawaku lambat ke pusat kota, lajunya kian lambat menuju lorong-lorong sepi tanpamu. Namun, di otakku pesta rindu kian meriah, meski jarak memisahkan kita, seratus juta tahun cahaya. Aku tahu kamu merasa bebas, setelah keegoisan kita saling mengikat. Sekarang, tidurlah, malam sudah cukup larut dengan kegundahan. Kecemasanku membumbungkan doa, dari dera rindu yang tiada reda. Pejamkan matamu, doaku menyelimutimu.
***
Pada hal yang baik aku mengucap syukur, pada pertemuan kita di hari baikku atau lebih layak kusebut tanggal keberuntunganku. Hingga perpisahan yang menguarkan perih.
Bukan. Bukan karena aku tak ikhlas, bukan, tapi karena sepasang mimpi bersama tiba-tiba lenyap dalam unggun yang membakar senyap. Ah, aku tahu, karena Tuhan mengajarkan ikhlas tak pernah menuntut balas. Sebesar apapun duka yang kau hujamkan di bulan Desember. Luka-luka yang tak terbahasakan.
“Dhuh biyung emban, wayah apa iki?
Rembulan wus ngayom,
anggegana prang abyor lintangé.
Titi sonya, puspita kasilir,
maruta wis kingis, sumrik gandanya rum.”
“Duh emban, jam berapa saat ini?
Rembulan sudah bersinar terang
Bintang-bintang terlihat tersebar gemerlapan
Saat sunyi sepi,bunga-bunga tertiup angin
Angin semilir, sungguh harum aromanya.”
Bait-bait gending Mijil Wigaringtyas begitu menenangkan sekaligus memilukan. Kularutkan malam dengan membaca pupuh-pupuhnya. Acap kali rindu tak pernah mengetuk pintu, ia datang tiba-tiba dalam senyap. Dalam gulita yang penuh harap. Segala tentangmu kini membeku terabadikan waktu. Sebab yang terjadi di antara kita biarlah luruh dalam sediam-diamnya doa.
Kelindan antara otak buntu dan ruang rindu kian pilu. Menyatu dengan jarak yang disekat waktu. Oh, Jawata asmara, Kamajaya Kamaratih. Lepaskan aku dari sangkutnya. Biar, biarlah waktu yang membunuh pikiran kita. Sekejam cekam rindu yang tak urung tenggelam.
Andai boleh dikata pupuh-pupuh ini adalah baju, barangkali ini caramu mempercantik rindu, caraku merindukanmu. Sudah kucukupkan rinduku. Aku takkan pernah mencarimu (lagi), takkan juga menghapusmu. Kelak, saat aku tiada lagi, kau akan abadi dalam tulisan ini. Ya, seandainya saja kau tertarik membaca diam-diam, dari pupuh pertamanya.
Ketawang Mijil Wigaringtyas, Tatag rambat bale manguntur, 22 Desember
*Mijil : puisi jawa bertemakan kesedihan yang menimbulkan harapan
*Pupuh : adalah bentuk puisi tradisional Jawa yang memiliki jumlah suku kata dan rima tertentu di setiap barisnya
19 comments
Pertamax..
Bang aci kata katanya bikin anu….
Apalagi yang bagian ini
“Kelak, saat aku tiada lagi, kau akan abadi dalam tulisan ini.”?
Tiba2 ada backsound Butterfly nya Mariah Carey….Wishing for a better January then ?
Hmmmmm. Intinya kamu sudah move om atau belum?
—-ah sudahlah percuma bait-bait rindu kau sematkan sementara tak ada balas ditengah hujan. Meredam, pilu, menahan asa ditengah gejolak rasa. Biarkan, lepaskan~
Dan yang tinggal hanyalah kamu bersama bayangan ha ha
Angin telah berhembus dan berlalu, maka biarkanlah ia berlalu
Dan sambutlah dia yang akan datang begitulah kehidupan ….
Yang ini bisalah masuk ke kumpulan cerpen. Tulisannya mengalir dan enak dibaca
mas achi galau?
hahahahahahha
WAAAAAAAAA. TULISANNYA BAGOSSSSSSS.
Baru paragraf pertama udah suka dilanjutin kebawah makin suka ❤❤❤
a beautiful pain.
cantik sekali tulisannya.
Seperti butuh diajak ngopi dulu nih
tulisannya keren, mas!
mengalir dengan indah, namun terasa perih
:’)
Secangkir kopi melepas penat, dan (harusnya) kan mempererat.
Ikhlas itu memang sulit mas menurutku, tp lebih sulit yakin kalo bisa ikhlas. 🙂
Aku hanya terpukau terhentak membaca semuanya… Semua manis mengalir… Aahh terima kasih
warbiyasah mas achi ? I Pround Of You?
Mumtaz!! It’s so dazzling! sampe baca 2 kali dan langsung terngiang lagu jadul nya Trademark, Only Love!
But only love can say – try again or walk away
But I believe for you and me
The sun will shine one day
So I’ll just play my part
And pray you’ll have a change of heart
But I can’t make you see it through
That’s something only love can do
huhuhu.. #maaf kepanjangan :p
suka bgt sama yg ini…
Acapkali rindu tak pernah mengetuk pintu, ia datang tiba-tiba dalam senyap. Dalam gulita yang penuh harap. Segala tentangmu kini membeku terabadikan waktu. Sebab yang terjadi diantara kita biarlah luruh dalam sediam-diamnya doa.
Sudah kucukupkan rinduku. Aku takkan pernah mencarimu (lagi), takkan juga menghapusmu. Kelak, saat aku tiada lagi, kau akan abadi dalam tulisan ini.
aku nyesek pas baca ini. betapa kadang suka masih “ngorek2 luka”
Sesuatu yang ‘diabadikan’ menjadi lebih sesuatu ya, Mas Achi.
Selalu keren