Gending Sriwijaya terdengar merdu dari sudut kamar. Ya, sore ini saya meluangkan waktu barang sejenak, untuk menikmati sebuah novel karya Langit Kresna Hariadi, yang berjudul “Amurwa Bhumi, Lintang Panjer Sore”. Novel berdasarkan catatan sejarah Kerajaan Mataram kuno hingga Kerajaan Singhasari (Kerajaan Tumapel) yang didirikan oleh Ken Arok ini sangat menarik buat saya.
Baca juga Menelusuri Jejak Pelarian Prajurit Majapahit di Candi Sukuh
Ingatan saya sedikit melayang ke ranah masa lalu di awal masa Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di sekitar Jawa Tengah. Novel ini mampu menggelitik rasa penasaran saya tentang hubungan Kerajaan Mataram kuno, sekitar abad ke-8 dengan sebuah kerajaan besar bernama Sriwijaya di pulau Swarnadwipa (sebutan Sumatra di masa sejarah klasik).
Catatan sejarah memang tidak begitu detail. Saya hanya menemukan beberapa fragmen yang menggambarkan hubungan Mataram Kuno dengan Sriwijaya. Teori populer yang beredar adalah catatan dari De Casparis yang menyebutkan bahwa Samaragrawira yang identik dengan Samaratungga, sang raja Jawa.
Sepeninggal Samaratungga, terjadi perebutan takhta di antara kedua anaknya, yakni Balaputradewa melawan Pramordawardhani. Rakai Pikatan suami dari Pramodawardhani, akhirnya mengalahkan Balaputradewa pada tahun 856, hingga akhirnya Balaputradewa menyingkir ke Sumatra.
Namun, banyak teori yang menyangkal alasan Balaputradewa menyingkir ke Sumatra bukan karena kalah perang. Teori lain menyebutkan, bahwa Balaputradewa bukanlah anak Samaratungga, melainkan adiknya. Balaputradewa menyingkir ke Sumatra karena dia tidak memiliki hak waris atas takhta Jawa yang jatuh ke tangan Pramordawardhani.
Rasa penasaran inilah yang akhirnya mengantarkan saya untuk melakukan perjalanan ‘napak tilas’ ke bumi Sriwijaya (Pelembang) guna membuktikan sendiri kebesaran nama Sriwijaya di bumi Nusantara.
Selamat datang di Kota Palembang, kota kuno yang menyimpan sejuta misteri keagungan Sriwijaya.
Matahari bersinar cukup terik menyambut kedatangan saya di Kota Palembang. Sambil menunggu kedatangan teman-teman lainnya dari berbagai provinsi, saya menyempatkan diri untuk melihat-lihat bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Bandaranya cukup luas dan bersih. Di beberapa bagian, lukisan berbentuk Jembatan Ampera menjadi pajangan utama.
Kota Palembang secara demografi berada di wilayah rawa atau perairan. Kota Palembang dan daerah-daerah sekitarnya, bagaikan pintu untuk masuk ke Kerajaan Sriwijaya, meskipun hingga sekarang lokasi tepatnya belum ditemukan. Beragam artefak dan peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di sekitar kota ini.
LRT membawa saya dan rombongan menuju Stasiun Bumi Sriwijaya yang berada di tengah kota. Bila dibandingkan dengan KRL Jakarta-Bogor, LRT ini jauh lebih nyaman. Meskipun ramai, penumpang tidak saling berdesakan. Jarak menuju pusat kota ditempuh sekitar satu jam-an.
Di Stasiun Bumi Sriwijaya, saya dan rombongan sudah dijemput mobil untuk bertolak menuju hotel. Siang itu, kami berencana menghabiskan waktu untuk beristirahat, sambil menanti jadwal selanjutnya. Pempek, sajian khas Palembang, sudah menunggu kedatangan kami di lobi hotel. Dari beragam bentuk yang disajikan, pempek di kota asalnya ini memang lebih variatif. Tidak hanya bentuk dan warnanya, tetapi juga bahan isiannya yang beraneka ragam. Ini adalah kali pertama saya menikmati pempek dengan filling kates (pepaya). Sepintas, bentuknya mirip dengan pastel. Namun, citarasa yang disuguhkan amat sangat berbeda dengan pempek yang sering saya nikmati di Jakarta atau tempat lainnya.
Usai mencicipi beragam pempek, saya langsung menuju kamar dan beristirahat sejenak. Batiqa Hotel akan menjadi tempat kami menginap untuk beberapa hari ke depan. Kamarnya cukup luas dan nyaman. Satu hal yang saya sukai dari hotel ini, selain desain interiornya yang menonjolkan unsur budaya Palembang adalah kecepatan liftnya. Maklum, hari pertama saya menempati lantai sebelas. Kamar saya berada di lantai paling atas dengan view pemandangan kota. Ah, tak sabar rasanya menunggu untuk berkeliling Kota Palembang.
Malam pertama di Kota Palembang kami habiskan di sekitar Riverside Restaurant. Makan malam dengan pemandangan megah Jembatan Ampera, menjadi momen yang tidak akan terlupakan. Musik khas melayu menjadi iringan tarian Gending Sriwijaya. Tarian ini diciptakan khusus untuk menyambut tamu-tamu. Jari-jari penari dihiasi kuku tanggai berwarna emas, membuat kecantikannya semakin paripurna.
Baca juga Papandayan, Gunung Api Cantik di Bumi Garut
Sambil menikmati pindang tulang iga khas Palembang, saya melayangkan pandangan ke arah Jembatan Ampera. Mata saya membayangkan barisan kapal layar kuno membelah Sungai Musi. Malam itu, usai acara penyambutan, saya bersama teman-teman, sepakat menghabiskan waktu sambil menyusuri pedestrian di sepanjang Sungai Musi. Mulai dari Benteng Kuto Besak hingga ke atas Jembatan Ampera. Tak ada yang lebih asyik selain menikmati pemandangan Sungai Musi dari atas Jembatan Ampera, sambil bercengkerama dengan teman-teman baru yang seru.
Tak terasa, waktu berjalan sangat cepat. Jam di atas Jembatan Ampera menunjukkan waktu pukul sebelas lewat. Usai berswafoto dan mengabadikan momen malam pertama di Bumi Sriwijaya, kami segera memesan taksi daring.
Bulan di langit semakin tinggi. Cahayanya yang temaram mengiringi perjalanan kami menuju hotel untuk beristirahat. Esok masih panjang. Segudang jadwal sudah dipersiapkan. Selimut hangat sudah menyambut kedatangan kami. Mata kami sudah menguncup, pandangan pun memudar. Tak butuh waktu lama kami segera menuju alam mimpi.
Bukit Siguntang dan Jejak Peninggalan Parameswara
Pagi pertama di Kota Palembang kami mulai dengan menikmati sarapan khas kota ini. Semangkuk tekwan menjadi hidangan penutup pagi itu. Kami segera bersiap menuju bus. Bukit Siguntang akan menjadi lokasi pertama yang akan disinggahi hari itu. Perjalanan dari hotel hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam.
Meskipun memiliki julukan bukit, tinggi Siguntang sendiri ‘hanya’ 29-30 meter dari atas permukaan air laut. Jangan dibayangkan perjalanan kami akan melelahkan. Untuk mencapai ‘puncaknya’ kami hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit. Secara demografi, Bukit Siguntang berada di sekitar tiga kilometer dari tepian Sungai Musi dan masuk wilayah Kota Palembang.
Bagi teman-teman kami yang berasal dari negeri jiran, Bukit Siguntang membawa ikatan emosional tersendiri. Maklum, fragmen sejarah pernah mencatat bahwa ikatan primordial sebagian penduduk Malaysia berasal dari diaspora warga melayu Palembang. Di sana, ada beberapa makam anggota Kerajaan Sriwijaya yang masih terawat hingga sekarang. Dalam sejarah Nusantara pada umumnya, makam raja-raja selalu berada di daerah ketinggian. Baik bukit maupun pegunungan. Gunung menjadi lokasi yang representatif dekat dengan dewa-dewa.
Kebiasaan mengembumikan raja-raja yang sudah mangkat di daerah pegunungan masih menjadi tradisi hingga sekarang. Makam raja-raja Mataram Islam di Imogiri, Yogyakarta misalnya.
Kembali ke Bukit Siguntang, nama Parameswara sendiri sangat dikenal oleh orang Malaysia keturunan melayu. Parameswara atau Iskandar Shah adalah raja terakhir dari Temasek (Singapura) yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Ia melarikan diri dari invasi Majapahit dan mendirikan benteng baru di Sungai Malaka. Jika ditelisik lebih jauh, nama Parameswara sendiri berasal dari Bahasa Sansekerta. Parama berarti “paling berkuasa”, dan Iswara berarti “raja”. Parameswara juga merupakan nama lain untuk Siwa, salah satu dewa utama dalam agama Hindu.
Jajaran pohon pinus menjulang tinggi dengan aroma kayu yang khas menyapa saya dan teman-teman siang itu. Di atas bukit ini terdapat tujuh makam yang lokasinya terpisah-pisah. Semua makam berada di bawah gazebo. Makam-makam tersebut adalah makam Raja Sigentar Alam, Pangeran Bagus Karang, Pangeran Bagus Kuning, Puteri Rambut Selako, Pangeran Batu Api, Pangeran Djunjungan, dan Puteri Kembang Dadar.
Para peziarah mancanegara yang berkunjung ke Bukit Siguntang umumnya berasal dari Malaysia, Singapura, Tiongkok, dan Thailand. Mereka memercayai bahwa Raja Sigentar Alam merupakan nenek moyangnya. Berdasarkan sejarah, Raja Sigentar Alam merupakan kakak kandung Datuk Sultan Iskandar atau lebih dikenal dengan nama Raja Parameswara dari Selat Malaka.
Di salah satu makam utama Bukit Siguntang, saya turut bersimpuh dan berdoa. Semoga catatan sejarah ini menjadi ikatan yang kuat bagi kami sebagai bagian dari rumpun melayu. Matahari siang semakin tinggi. Udara di sekitar bukit semakin kurang bersahabat. Angin seolah berhenti sehingga kami harus menyudahi aktivitas ziarah dan melanjutkan perjalanan.
-bersambung-
4 comments
Mantap ceritanya detail, ga sabar nunggu ftv selanjutnya ?
thank u, siap2
Eh sambungannya udah launching belum? Mau lanjut baca.
haa belum nih hehe