Jogja bagi saya adalah rumah kedua. Meski saya bukan warga asli Jogja, tapi, kota pelajar ini selalu memberikan keramahan saat saya ‘pulang’. Jogja selalu mempunyai magnet yang membuat siapa pun selalu ingin kembali. Toh, seperti ucapan Sri Sultan, siapa pun bisa menjadi orang Jogja tanpa harus menjadi orang Jawa. Apalagi kalau mempunyai darah Jawa asli seperti saya.
Banyak hal yang membuat saya tidak pernah bosan untuk kembali ke Jogja. Keramahan penduduknya, kenyamanan suasananya, dan yang paling utama bagi saya adalah sikap sederhana yang ditunjukkan oleh orang-orang Jogja. Value ini melebihi apapun yang saya inginkan dari kota gudeg ini. Kata sederhana selalu melekat kuat dengan budaya Jawa–khususnya Jogja. Sederhana di sini dalam arti yang sesungguhnya sesuai budaya Jawa.
Bagi sebagian besar orang Jawa yang menganut ajaran Eyang Semar, tokoh imajiner dalam dunia pewayangan ini selalu menanamkan value-value tersebut. Sesanti atau wejangan dari Eyang Semar: “Urip iku sing prasojo lan sakmadyo”. Hidup itu sederhana saja, tidak usah berlebihan dan apa adanya.
Dalam perspektif prasojo, ada perwujudan keinginan yang harus kita kendalikan. Pilihannya adalah hidup sederhana tanpa kehilangan kepuasaan, karena sederhana itu sendiri juga memuaskan. Seperti yang kita tahu, kepuasaan dalam keinginan tak ada batasnya. Sederhana dalam batasan yang kita mampu, ora perlu neko-neko. Sederhana, secukupnya, sepantasnya. Tidak perlu mengikuti common opinion yang kita tidak mampu.
Nilai-nilai tersebut sangat mudah ditemui saat kita berada di Jogja. Kalau tidak percaya, coba sesekali mblusuk ke dalam pasar tradisional di Jogja seperti Pasar Beringharjo dan Pasar Kotagede. Dua pasar ini boleh dibilang berada di pusat kota Jogja. Kita akan dengan mudah menemui simbah-simbah yang sudah sepuh tapi tetap bersemangat untuk berdagang. Nggak cuma berdagang, bahkan sebagian dari mereka berprofesi sebagi porter. Tidak ada kata malu dan berpangku tangan. Mereka bisa dengan mudah menyapa pengunjung pasar dan menawarkan bantuan untuk mengangkut barang belanjaan.
Mungkin, sepintas kita akan dengan mudah memberikan stempel buruk terhadap keluarganya. Ke mana anak-anaknya saat mereka sudah sepuh? Mengapa mereka tidak menikmati masa pensiun di rumah dan ikut dengan anak-anaknya saja? Ya, pada awalnya saya juga berpikir demikian. Namun, anggapan itu keliru saat saya mencoba ngobrol dengan mereka.
“Mbah, sampun dangu ngastha dateng mriki? Kok, mboten istirahat teng nggriya kemawon?” Tanya saya dalam Bahasa Jawa krama inggil yang artinya “Mbah, sudah lama bekerja di sini? Kok, tidak istirahat saja di rumah?” Lantas, jawabannya membuat saya tercengang. “Kula isin, Mas, menawi nyuwun cadong saking anak-anak. Kula takseh diparingi sehat kalih Gusti Allah. Alhamdulillah, saget maringi sangu kanggo putu-putu. Ya, nek mung meneng leren neng omah wae malah awak e kesel. Iso obah ngene lakyo penak, ora lara-laranen.” Jawab simbah yang saya temui.
Jawaban percakapan dari simbah tersebut artinya begini: “Saya malu, Mas, kalau harus minta jatah uang dari anak-anak. Saya masih diberi kesehatan dari Gusti Allah. Alhamdulillah, masih bisa memberi uang saku untuk cucu-cucu. Ya, kalau diam – istirahat saja di rumah badan malah jadi sakit-sakitan. Bisa bergerak begini kan enak, nggak sakit-sakitan.”
Obrolan dengan simbah-simbah di pasar tersebut memberikan saya banyak insight baru tentang kehidupan. Bahwa menjadi tua itu suatu kepastian, tapi tetap produktif di masa tua itu pilihan. Tidak ada yang salah dengan pilihan mereka. Jangan berpikir negative dengan keluarganya, kita benar-benar tidak tau apa yang terjadi dengan keluarga mereka.
Justru kebanggaan bahwa mereka masih bisa produktif di masa tua patut kita apresiasi. Cukup dengan membeli barang dagangannya, jangan pernah menghinanya dengan memberikah sedekah. Ingat! Mereka bukan pengemis atau peminta-minta. Mereka menawarkan barang dagangan atau jasa bantuan. Bantulah dengan cara yang baik dengan tidak menawar dan atau mengikhlaskan kembaliannya. Ingat pula bahwa mereka berdagang bukan berbisnis dengan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Menurut saya cara ini adalah yang paling bijak.
Di sisi lain, Jogja juga selalu mengajarkan saya bahwa untuk bahagia dengan cara yang sederhana. Orang Jogja selalu mengajarkan saya bahwa standar bahagia untuk ukuran Jogjakarta dan Jakarta sangat jauh berbeda, walaupun dua kota ini hanya dipisahkan dengan suku kata “Jog”. Ada kata “Jakarta” dalam “Jogjakarta”. Salah satunya adalah prinsip “Madang ki butuhe WAREG”. Prinsip makan itu yang penting kenyang. Bukan untuk menuruti keinginan yang macam-macam, bukan untuk menuruti kebutuhan visual.
Mblusuk Pasar Kotagede Nyari Soto Jawa yang Otentik
Ndak tau kenapa, rasa soto ayam di Jawa (Jawa di sini mengacu pada daerah Jateng, Yogyakarta, dan Jatim) rasanya nggak pernah salah. Bukan nggak ada soto enak di Jakarta, tapi rasa soto yang otentik tetap dihasilkan di tiga daerah tersebut. Menurut kamus pribadi saya, soto otentik itu nasinya harus dicampur dengan kuah soto bening. Kalau mau lebih otentik lagi harus ada taburan kentang goreng yang diiris tipis-tipis sebagai topping.
Kuah sotonya harus bening dan segar. Nggak terlalu kuning pekat karena kebanyakan kunyit. Cara masaknya kalau perlu harus di atas anglo dan bara api dari arang. Sebagai pelengkap harus ada gorengan tempe tanpa tepung, bergedel kentang, kacang klici (kacang goreng kupas yang dicampur bawang putih), kerupuk udang, sate telur puyuh, tahu goreng original tanpa tepung, dan teh manis panas atau istilah populernya nasgitel (akronim dari panas, legi/manis, kentel). Soto jenis ini susah banget ditemuin di Jakarta. Kalau pun ada yang mirip, ya cuma soto segar khas Boyolali.
Saat mblusuk ke Pasar Kotagede, saya nemu jenis soto baru yang taste-nya sangat otentik dengan soto khas Jawa. Namanya Soto Kemangi. Soto kemangi ini jenis soto baru buat saya. Isinya soto bening otentik khas Jawa. Topping-nya ditambahin potongan daun kemangi segar. Mungkin, secara visual tampilan soto ini tidak cantik dan “instagrammable”. Bahkan, warungnya sendiri tampak sangat sederhana tanpa ada papan nama. Kalau soal rasa, jangan ditanya. Udah pasti nyamleng (enak banget) dan sesuai ekspektasi saya.
Warung soto ini bersebelahan dengan warung tongseng. Di bagian belakang warung tampak deretan anglo (tungku tanah liat berisi bara api dari arang) untuk memasak soto dan teman-temannya. Di atasnya terdapat kuali berisi kuah soto dengan asap kemebul yang mengeluarkan aroma khas. Jajaran lodong (toples jadul) berisi kerupuk udang menjadi penghias meja. Di depannya ada piring berisi tempe, tahu, dan aneka gorengan lainnya.
Teman saya sempat bilang, dilihat dari cara masaknya, soto ini udah pasti enak dan faktanya memang begitu. Kalau kata influencer “seenak itu”, emang ini jenis soto yang “nggak paham lagi” kenapa rasanya bisa seenak itu. Inilah salah satu alasan mengapa saya selalu menyukai blusukan ke pasar tradisional. Banyak jajanan dan kuliner enak dengan rasa otentik dan yang pasti harganya murah.
Dulu, sewaktu kecil tinggal di Ngawi, kalau saya sakit demam atau pulang berobat dari rumah sakit, simbah saya selalu ngajak jajan dan ngiras soto di pasar. Entah energi apa yang tersimpan dalam semangkuk soto. Pokoknya, setelah makan soto badan saya langsung terasa segar, demam pun hilang. Memori tersebut melekat kuat di otak saya hingga sekarang. Kalau badan udah mulai nggreges, hidung rasanya nyumleng, dan tanda-tanda mau batuk pilek, saya langsung cari soto segar. Nggak perlu obat-obatan khusus. Cuma butuh semangkuk soto segar.
Kegiatan mblusuk di pasar tradisional ini selalu mengasyikan buat saya. Mblusuk ke pasar seperti ini selalu menarik memori masa kecil saya. Maklum, rumah almarhum simbah saya di Ngawi berada tepat di depan Pasar Walikukun. Dulu, simbah dan lek-lek saya punya kios yang jual barang kelontong dan mainan di pasar tersebut. Waktu kecil saya sering main ke pasar dan diajak ngiras (makan di tempat) soto sama simbah.
Kenangan-kenangan waktu kecil itulah yang membuat saya selalu menyukai suasana pasar tradisional. Jajanan pasar yang enak dan murah. Keramahan para pedagang dan aneka ragam jajanan tradisional membuat saya betah mblusuk di pasar. Semoga, eksistensi pasar tradisional dengan segala kearifan lokalnya tetap bertahan hingga nanti. Buat kalian yang hobi traveling, cobalah sesekali masuk ke pasar tradisional dan berburu makanan lokal. Selamat mencicipi!
13 comments
Yup, sering kali makan soto berarti juga menikmati value yang jauh lebih tinggi dari sekadar mengisi perut.
bener banget!
aku baru pertama kali mendengar soto kemangi. Baru tahu soto dengan topping daun kemangi. Daun kemangi memang sangat segar. Selalu aku habiskan ketika jadi lalapan di ayam penyet..hahaha
kayak simbahku dulu, sudah sepuh disuruh istirahat di rumah ga mau. Maunya tetap jualan gorengan. Mana kalau jualan selalu jalan kaki dan lumayan jauh juga. Selain itu, aku juga suka blusukan pasar tradisional. Kadang ke pasar untuk beli jajanan pasar.
tosslah suka blusukan ke pasar tradisional
Jadi nyesel kmren pas d kotagede ga nyobain soto kemangi
Kalau kita kurang mengerti situasi orang lain, apa lagi yang berasal dari luar Jogja akan mudah sekali menilai anak-anak simbah. Bahwa orang tua sudah tua kok masih dibiarkan bekerja. Pdahal sebenarnya kita gak ngerti banget situasi yang mereka hadapi di rumah. Banyak alasan orang tua masih bekerja dan mengumpulkan uang. Jadi kita gak perlu men’judge’ keluarnya ya
Aku jadi ingat mertuaku, udah pensiun, anak uda pada mandiri tapi gak mau diem, justru berdagang dan sering belikan cucu macem2. Tinggal bagaimana kitanya peduli sama orang tua lansia ya
Setuju!
Rasa soto ayam di Jawa itu memang “beda”. Suasananya, mungkin?
Saya dua kali ke Jogja tapi belum puas mengeksplor Jogja dengan segala potensi wisata dan budaya yang ada di dalamnya. Sudah lama saya mengenal dan bersahabat dengan orang-orang Jogja. Benar mereka ramah-ramah dan baik hati. Bahkan sampai sekarang pun saya masih berhubungan baik dengan mereka.
Ya ampun mas. Nggak kebayang sedepnya makan soto yang masak di tungku gitu.
Aduh perut ku langsung keroncongan. Apalagi ini malam minggu, hawa dingin dan aroma sotonya sampai di ujung hidungku di Banjarmasin.
Makan sotonya makan sedep sama kerupuk uyel orange, sambelnya agak banyak. Aduuuh enak sekali
Wah..sepertinya memang nyamleng nih Soto Kemanginya..jadi kemecer pengen nyicipi nih.. BTW kalau Soto Pekalongan sudah pernah nyicip blm.mas? Hehe..
Beberapa kali ke Jogja, sepertinya aku melewatkan kuliner soto kemangi deh. Catetttt, wajib dicoba nanti. Aku pernah blusukan ke Ps. Beringharjo cari koleksi uang kertas jadoel. Memang deh makan bukan sekedar ngenyangin perut, namun ada filosofi khusus yang bisa membuat kita terkagum2 maknanya.
Suka sekali dengan paragraf pembukanya. Jogja pun punya tempat di hati saya, kota paling romantis di seantero Indonesia. Keramahan Jogja selalu bikin saya jatuh cinta.
Bagi saya, makanan memang tidak harus instagramable. Rasa selalu harus jadi yang utama. Jadi kalau Soto Lemangi ini tampilannya kurang menarik, ya tak masalah.
Terima kasih untuk tulisannya. Saat ke Jogja nanti, mungkin saya akan coba mampir ke sini