Belakangan ini kita sering mendengar berita bahwa sebagian besar wilayah pesisir selatan Pulau Jawa berpotensi menyimpan bencana yang maha dahsyat. Nggak tanggung-tanggung, berbagai hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa Pulau Jawa dari ujung barat sampai ujung timur, berpotensi terjadi tsunami dengan ketinggian dua puluh meter.
BMKG juga menyebutkan bahwa area pantai yang berada pada elevasi atau ketinggian lebih dari dua puluh meter, relatif lebih aman terhadap ancaman bahaya tsunami megathrust selatan Jawa.
Baca juga: Strategi Pribadi Menghadapi Masa Resesi
Sebab, skenario terburuk megathrust di selatan Jawa itu bisa menghasilkan tsunami dengan ketinggian maksimum hingga dua puluh meter atau setara dengan gedung setinggi enam lantai lebih (jika rata-rata satu lantai gedung sekitar tiga meter) dan akan terjadi dalam waktu 20 menit setelah gempa besar bermagnitudo 9 lebih. Ngeri nggak, sih? Membayangkannya saja saya nggak sanggup.
Beredarnya skenario potensi tsunami yang ramai diberitakan, mau tak mau membuat saya sadar dan berpikir kalau selama ini belum punya manajemen risiko yang baik dalam menghadapi bencana. Memang sih, saya tinggal di Jakarta dan potensi adanya tsunami sangat kecil. Tapi, banyak potensi bencana yang mengancam Jakarta selain tsunami. Misalnya, kebakaran, banjir, gempabumi, huru-hara, dan kondisi force major lainnya yang tidak bisa diprediksi.
Masih ingat kan, beberapa tahun lalu kita sempat merasakan efek gempa yang episentrumnya berada di daerah yang tidak jauh dari Jakarta seperti Sukabumi dan Banten. Bahkan, awal tahun 2020 lalu, Jakarta juga mengalami banjir parah. Apalagi bencana kebakaran. Rasanya hampir setiap saat kita mendengarnya.
Berkaca dari kejadian tersebut, saya mulai menyiapkan manajemen risiko bencana yang bisa dimitigasi sejak dini. Salah satunya adalah menyiapkan tas emergency yang siap angkut saat bencana terjadi. Saat saya melemparkan opini semacam ini ke beberapa grup Whatssap, masih banyak lho yang berpikiran negatif dan memberikan tanggapan yang nyeleneh menurut saya. Misalnya tanggapan seperti ini: “Udahlah bro, bencana itu urusan Yang Di Atas, ngapain ribet kayak gitu? Itu sama aja berdoa dan mengundang agar bencana datang.”
What?
Saya sih cuma nyengir aja mendengar tanggapan seperti itu. Ya, semua orang punya hak untuk beropini, sih. Sebenarnya, manajemen risiko ini pernah saya pelajari secara nggak langsung sewaktu traveling ke Jepang. Saya perhatikan, di sana setiap rumah selalu menyiapkan tas bencana yang berisi survival kit, dan digantungkan di dekat pintu keluar yang mudah dijangkau saat terjadi bencana.
Nggak cuma tas bencana yang berisi survival kit, tapi, saya perhatikan juga setiap bangunan rumah di Jepang rata-rata memiliki emergency exit. Ini bukan gedung besar dan tinggi, lho. Cuma rumah kecil biasa. Waktu saya nginep di hostel dua lantai, di lantai atas terdapat semacam tangga darurat yang dibuat dari tali. Posisinya berada di dekat jendela kaca yang mudah dibuka. Tangga yang terbuat dari tali ini bisa digunakan saat terjadi kebakaran atau bencana lainnya. Saya sih nggak yakin kalau rumah-rumah di Indonesia didesain seperti itu. Kecuali gedung-gedung besar di perkotaan.
Jadi, manajemen risiko apa saja yang bisa disiapkan untuk memitigasi bencana?
Nah ini, setelah saya coret-coret di atas kertas, akhirnya saya mencatat setidaknya ada lima langkah untuk memitigasi bencana. Mungkin kalau ada tambahan lainnya silakan saja. Sekali lagi ini bukan diniatkan untuk berdoa atau mengundang bencana terjadi, lho. Tapi lebih sebagai bentuk ikhtiar untuk mengantisipasi bencana.
Saya pernah ngobrol sama teman, bahwa Tuhan menciptakan bencana sepaket dengan solusinya. Semua bisa dipelajari dan diterapkan. Jadi, jangan pernah menyalahkan bencana jika kita tidak memitigasinya. Salah satu risiko tinggal di negara Ring of Fire seperti Indonesia adalah banyaknya potensi bencana yang akan terjadi. Mulailah berdamai dan hidup berdampingan dengan bencana yang bisa terjadi setiap saat.
Untuk memitigasi bencana, saya mencoba melakukan lima hal berikut ini:
- Scan atau foto semua dokumen penting seperti KTP, KK, Paspor, SIM, STNK, BPKB, akta-akta, dan dokumen penting lainnya. Simpan dalam satu folder di Google Drive atau email. Beberapa tahun lalu saya pernah kehilangan dompet dan kartu seperti SIM dan STNK. Sewaktu melapor ke polisi, saya ditanya apakah punya copy atau salinannya. Alhamdulillah ada dan saat itu juga SIM saya yang hilang bisa diganti.
- Saat bepergian, saya membiasakan diri untuk tidak membawa semua kartu identitas dan ATM dalam satu dompet. Biasanya saat traveling, saya cukup membawa satu kartu identitas seperti KTP dan satu kartu ATM atau CC. Kartu-kartu lain seperti SIM, STNK, ATM jika tidak diperlukan saya tinggal di rumah. Ini untuk mencegah dan mendiversifikasi risiko kehilangan dompet saat bepergian. Repot kan ngurusnya jika semua dokumen hilang?
- Memasukkan semua dokumen penting di rumah dalam satu tas anti air. Menaruh silica gel untuk mencegah jamur dan menyimpan di tempat yang aman serta mudah dijangkau saat terjadi bencana. Kalau memungkinkan dan punya, taruh di lemari fire proof.
- Setidaknya wajib punya asuransi kesehatan seperti BPJS. Kalau punya budget dan memungkinkan, beli asuransi kesehatan tambahan jika tidak diberikan fasilitas asuransi kesehatan tambahan dari kantor. Asuransi lain seperti kebakaran, kebongkaran dan lain-lain juga bisa dipertimbangkan untuk dimiliki.
- Tas emergency yang berisi survival kit seperti senter atau head lamp, jas hujan ponco, peluit, makanan kering, air mineral, kompas, pisau army lipat serbaguna, P3K, masker, dan lain-lain. Isinya bisa nyontek tas bencana orang Jepang yang ada di Youtube. Survival kit seperti ini juga baru saya kerjakan saat ada berita tsunami belakangan ini.
Selain lima hal di atas, jika kita tinggal di daerah yang rawan bencana seperti pesisir pantai, dekat dengan pinggiran sungai yang rawan banjir, di daerah perbukitan yang rawan longsor, atau di kaki gunung berapi untuk mempelajari jalur evakuasi secara mandiri.
Pastikan kita sudah hafal lokasi tempat pengungsian yang sudah disiapkan pemerintah setempat jika bencana terjadi. Jangan pernah menunggu early warning system dari pemerintah. Berusahalah untuk menyelamatkan diri secara mandiri.
Ingat! Tidak ada yang pernah benar-benar tau kapan bencana akan datang. Tapi semua bisa diprediksi dan dimitigasi risikonya. Jangan pernah menyalahkan alam jika kita tidak pernah menyiapkan diri untuk mengantisipasinya. Sekali lagi ini bukan sebuah doa dan harapan agar bencana datang, tapi sebagai bentuk ikhtiar dalam menghadapi bencana.
Jangan lupa untuk tetap tenang, tidak panik, dan berdoa agar jika terjadi bencana. Memang teorinya mudah diucapkan agar tidak panik. Saya pun belum tentu bisa. Tapi setidaknya kita sudah punya manajemen risiko untuk menghadapinya.
Jadi, apa yang sudah kamu siapkan jika bencana datang? Jika ada tambahan silakan tulis di kolom komentar, ya.