Suatu siang, saat jam istirahat kantor saya bertemu dengan seorang teman yang bekerja di sekitaran Jakarta Selatan. Awalnya, kami janjian untuk bertemu di sebuah warung kopi sekaligus nongkrong. Maklum, sudah lama nggak ketemu selama pandemi. Ndilalahnya, karena saat itu Jakarta sedang PSBB ketat, warung kopi favorit tempat kita biasa nongkrong pun tutup. Karena waktunya mepet dan takut batal ketemu lagi, akhirnya kami terpaksa melipir ke sebuah warung di pinggir jalan.
Ya sudahlah, nggak apa-apa daripada batal, yakan?
“Mir, nggak apa-apa nih, kita nongkrong siang-siang di pinggir jalan?” Tanya saya ke Amir, teman yang saya ajak nongkrong siang itu.
“Santai, Bro. Seru juga kok ngobrol di pinggir jalan.” Jawabnya.
Baca juga: Tren Green Jobs Meningkat, Ini Peluang dan Tantangannya
Akhirnya, kami berdua pun terlibat percakapan seru selama masa pandemi yang belum tau kapan berakhir. Kami ngobrol banyak hal tentang kesehatan, keluarga, karir, dan macam-macam. Tak terasa hampir sejam lebih. Berhubung Amir harus segera balik lagi ke kantor, dia pun berpamitan dan mengakhiri obrolan.
“Eh, sorry. Gue lupa, tadi Pak Bos ngajak meeting abis istirahat.” Kata Amir.
“Sip, Bro. Lu balik ke kantor sana, nanti biar gue yang bayar.” Jawab saya singkat.
Siang itu saya berniat mentraktirnya, tapi saat membuka dompet saya kaget. Saya lupa membawa uang cash dalam jumlah yang cukup. Di dompet hanya ada dua lembar uang lima ribuan dan selembar uang dua ribuan. Saya mikir, ini warung kaki lima pinggir jalan, nggak mungkin bisa membayar pakai kartu debit apalagi kartu kredit. Saya juga nggak yakin Si Abang pemilik warung ini punya mesin EDC (electronic data capture) atau alat pembayaran digital lainnya.
Duh, saya nggak enak kalau harus minta Amir untuk membayarnya, meski saya tau sebenarnya dia tidak akan keberatan. Saya memutar otak bagaimana caranya agar Amir nggak membayar tagihan tersebut, tanpa harus tau kalau saya lupa membawa uang tunai. Akhirnya saya dapat ide.
“Mir, udah sana balik duluan, tar Lu dicariin Pak Bos. Gue masih mau nongkrong di sini sebentar.” Saya minta Amir untuk balik duluan ke kantornya.
“Sip, Lu apa gue yang bayar, nih?” Tanya Amir sekali lagi.
“Iya, biar gue aja yang bayar.” Sahut saya.
Setelah Amir balik ke kantor, saya pun langsung menghampiri abang penjaga warung kaki lima tersebut.
“Bang, ATM di dekat sini di mana, ya? Uang cash saya sepertinya nggak cukup.” Saya ngomong terus terang ke Si Abang.
“Wah, kalau ATM jauh, Mas, dari sini. Masnya punya akun GoPay atau OVO?” Si Abang balik Tanya.
“Oh, bisa bayar pake OVO ya, Bang?” Tanya saya kaget. Ternyata warung kaki lima ini sudah bisa pakai emoney.
“Bisa, Mas.” Jawab Si Abang.
Saat itu juga, saya langsung terlihat bego di depannya, karena baru tau kalau warung kaki lima punya Si Abang sudah bisa menerima pembayaran digital. Setelah percakapan tersebut, saya jadi makin sadar kalau pembayaran digital semacam ini ternyata sudah digunakan oleh masyarakat luas. Nggak cuma kafe, restoran, atau toko-toko daring saja yang memakainya, tapi juga warung-warung pinggir jalan dan kantin-kantin di perkantoran.
Jujur, pembayaran digital semacam ini sangat memudahkan kita untuk bertransaksi. Tinggal scan QR Code di ponsel atau cukup ditempelkan melalui alat pemindai, maka segala transaksi langsung beres. Gampang, praktis, dan ekonomis!
Kilas Balik Transaksi Digital di Indonesia
Ngomongin masalah transaksi digital, saya jadi tertarik untuk mengulasnya. Masih ingat nggak sih tahun 90-an, generasi milenial seperti saya, taunya cukup menggunakan uang sebagai alat pembayaran secara tunai dengan uang kertas dan koin. Sistem pembayaran tunai seperti ini masih berlaku dan tetap digunakan hingga sekarang.
Semakin canggih dan berkembangnya teknologi, akhirnya pembayaran tunai diganti dengan sistem nontunai atau transfer elektronik lewat bank. Kartu ATM, kartu debit, dan kartu kredit menjadi pilihan bagi kalangan tertentu untuk melakukan transaksi.
Pembayaran melalui transfer elektronik seperti mesin ATM, kartu debit, dan kartu kredit didominasi oleh bank-bank terkemuka di Indonesia di awal tahun 2000-an. Umumnya, mesin-mesin pembayaran elektronik tersebut hanya ada di tempat-tempat tertentu seperti minimart, mall, supermarket, kafe, dan restoran-restoran mewah lainnya. Sama seperti uang tunai, transaksi melalui transfer elektronik ini masih berlaku sampai sekarang.
Untuk mengakomodasi kebutuhan nasabah, kalangan perbankan akhirnya menerbitkan produk generik berupa e-money seperti Flazz, Brizzi, TapCash BNI, JakCard dan sejenisnya. Uang elektronik berbasis cip ini umumnya berbentuk kartu selayaknya kartu ATM, kartu debit, maupun kartu kredit. Yang membedakan kartu e-money ini tidak bisa digunakan untuk transaksi tarik tunai melalui mesin ATM.
Bahkan, beberapa perusahaan telekomunikasi seperti PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, sempat menerbitkan e-money bernama Flexy Cash dan iVas Card, PT Telekomunikasi Seluler dengan produknya T-Cash dan Tap Izy, serta PT XL Axiata Tbk dengan XL Tunai dan PT Smartfren Telecom Tbk dengan Uangku.
Jika dibandingkan dengan e-money seperti Dana, Gopay, OVO, dan LinkAja, penerbit e-money dari perusahaan telekomunikasi di atas sepertinya kurang populer dan jarang digunakan oleh konsumennya.
Semakin ke sini, akhirnya teknologi QR Code Payment ditemukan. Setelah itu baru kemudian muncul uang digital seperti Dana, Gopay, OVO, LinkAja, dan sejenisnya. Payment cards akhirnya berevolusi menjadi e-money atau uang elektronik dengan menggunakan QR Code Payment. QR sendiri merupakan singkatan dari Quick Response. E-Money jenis ini berbasis server dan memiliki nilai uang disimpan di dalam server penerbit.
Buat yang belum tau, teknologi QR Code ini awalnya digunakan sebagai alat pelacak kendaraan yang populer di Jepang. Penemunya adalah Denso Wafe di tahun 1994. Kemudian teknologi QR Code ini dikembangkan menjadi QR Code Payment.
Memahami Manfaat Transaksi Digital
Apakah generasi milenial lekat dengan transaksi digital? Ini sudah pasti. Kini, siapa saja bisa menggunakan teknologi QR Code Payment untuk bertransaksi digital. Pembayaran digital semacam ini menurut saya memiliki beragam manfaat dibandingkan dengan melakukan transaksi secara tunai. Berikut ini beberapa di antaranya:
Gampang, Cepat, dan Praktis
Sebagai generasi milenial, saya merasakan betul perpindahan cara pembayaran dari konvensional menjadi digital. Pembayaran dengan menggunakan sistem QR Code Payment ini membuat proses pembayaran menjadi lebih gampang, singkat, dan praktis. Sebagai pemakai pembayaran digital kita nggk perlu repot menghitung uang tunai dan lama menunggu uang kembalian saat bertransaksi.
Belum lagi kalau belanja di warung tradisional dengan uang tunai, bisa jadi kita harus menunggu lebih lama karena pemiliknya sedang menukarkan uang kembalian ke tetangga sebelah. Kita pun nggak perlu direpotkan merogoh uang tunai di dalam tas atau dompet yang bisa saja terselip.
Pokoknya, semakin banyak orang yang melakukan transaksi digital payment, maka jalur antrean pembayaran di kasir atau loket pembayaran akan semakin pendek. Benar-benar praktis, kan?
Udah gitu, yang namanya digital payment itu sistem pembayaran real time dan nggak perlu otorisasi yang lama seperti transfer elektronik lewat bank. So, kalau kita membayar saat ini, maka uangnya bisa langsung berpindah ke pihak penerima dalam waktu beberapa detik. Cepat, kan?
Transaksi Menjadi Lebih Aman
Aman di sini berarti kita nggak perlu takut uangnya hilang karena dicuri atau berisiko dirampok saat harus membawa uang tunai dalam jumlah banyak ke mana-mana. Lebih dari itu, di saat pandemi seperti sekarang, bertransaksi dengan digital payment menjadi lebih aman secara kesehatan karena meminimalisir pertukaran uang tunai dan kontak fisik antara penjual dan pemberli. Tau kan, karena uang tunai sering berpindah tangan, kita nggak tau seberapa kotornya uang tunai yang ada di dalam dompet kita.
Memang, transaksi digital pun nggak luput dari ancaman kejahatan, seperti pencurian data, tindakan peretasan, fraud maupun kecurangan. Bank Indonesia sebagai pemangku kebijakan moneter tentu telah mengantisipasinya. Salah satunya dengan menjaga keamanan data nasional pada praktik digital payment, dengan meluncurkan gerbang pembayaran nasional (GPN). Dengan adanya GPN ini, semua data transaksi diproses di dalam negeri. So, nggak usah khawatir tentang risiko keamanan. Pastinya bertransaksi digital dijamin aman.
Banyak Ragam dan Fasilitasnya
Ada berapa jenis digital payment yang kita tau? Yang namanya digital payment tuh nggak cuma QR Code Payment doang, lho. Produk digital payment tuh beragam, mulai dari kartu debit, kartu kredit, internet banking, mobile banking, uang elektronik, hingga dompet digital atau e-wallet. Semua produk tersebut tergolong digital payment. Bahkan, termasuk cryptocurrency yang sangat populer di luar negeri seperti bitcoin. Memang sih, saat ini di Indonesia sendiri penggunaan cryptocurrency belum populer.
Dengan beragamnya pilihan produk pembayaran digital dari berbagai vendor, sebagai konsumen tentu kita semakin diuntungkan. Misalnya, bisa mendapatkan promo cashback. Siapa sih, yang nggak suka cashback? Belum lagi kalau ada promo-promo tertentu dengan pembayaran digital.
Bisa Mengatur Keuangan dengan Lebih Mudah
Ada yang sering mengeluh abis gajian uangnya habis entah ke mana? Saya sih sering banget nemuin kasus seperti ini. Mayoritas mereka yang sering mengeluhkan uangnya habis tak tau ke mana perginya, umumnya disebabkan tidak punya catatan keuangan. Yap! Dengan menggunakan digital payment kita bisa lho mengontrol keuangan tanpa harus repot mencatat setiap histori transaksi.
Histori transaksi melalui digital payment bisa langsung dilacak lewat laporan tagihan. Semua pengeluaran akan tercatat rapi. Coba deh, bandingkan kalau kita harus bertransaksi secara tunai, pastinya kita harus rajin mencatat setiap pengeluaran agar bisa dilacak ke mana perginya. Dengan demikian mengontrol keuangan akan jadi lebih mudah dengan digital payment.
Turut Meningkatkan Pemerataan Ekonomi Nasional
Tau nggak sih, sadar atau nggak dengan menggunakan digital payment, secara nggak langsung kita juga mendukung pemerataan ekonomi nasional. Sederhananya begini, uang fisik itu kan butuh waktu dan media agar bisa berpindah tangan dari lokasi satu ke lokasi yang lain. Ibaratnya, mobilitas manusia sangat diperlukan agar uang fisik nggak cuma berputar-putar saja di pusat kota atau pusat perekonomian.
Orang-orang di pedesaan atau daerah terpencil harus menunggu momen-momen tertentu seperti mudik saat hari raya atau libur hari besar nasional agar menikmati perputaran uang yang dibawa pemudik dari pusat kota. Misalnya, masyarakat yang tinggal di Provinsi Papua tentu membutuhkan waktu yang lama agar uang fisik bisa berpindah dari Ibu Kota Jakarta. Dengan demikian pemerataan ekonomi yang berbasis perputaran uang secara fisik (tunai) pasti membutuhkan waktu yang lebih lama.
Lain halnya dengan uang digital, perputaran uang tidak harus menunggu momen dan mobilitas manusia. Semua bisa dilakukan dalam waktu yang cepat dan mudah. Orang-orang di daerah terpencil yang menjual barang-barangnya melalui platform market place dan menerima pembayarannya saat itu juga. Kebayang dong kalau harus membayar secara tunai, sampai kapan penjual di Papua bisa menerima uangnya dari pembeli di Pulau Sumatra.
Turut Menghemat APBN untuk Percetakan Uang Kartal
Tau nggak sih, berapa banyak uang yang dikeluarkan negara dalam setahun untuk mencetak uang kartal (uang kertas dan koin)? Berdasarkan data dari Bank Indonesia, anggaran untuk mencetak uang kartal setiap tahunnya mencapai triliunan rupiah. Dengan menggunakan transaksi nontunai negara bisa menghemat biaya percetakan uang sekitar 10-20 persen. Penghematan dari pencetakan uang fisik ini angkanya bisa mencapai Rp 16 triliun.
Selain itu, uang elektronik tidak bisa rusak seperti halnya uang fisik, sehingga biaya kerugian untuk pemusnahan uang fisik yang rusak atau lusuh bisa diminimalisir. Jumlah penghematan tadi bisa dialokasikan untuk anggaran lainnya. Terlebih saat pandemi seperti sekarang, di mana negara perlu melakukan penghematan.
Belum lagi jumlah generasi muda di Indonesia yang melek literasi digital juga mendominasi. Jika mayoritas penduduknya menggunakan uang digital, angka penghematan ini bisa jauh lebih besar lagi. Tidak perlu melakukan hal besar untuk berkontribusi terhadap negara, dengan melakukan gerakan nontunai kita pun bisa berpartisipasi.
Nah, itu tadi beragam keuntungan dengan melakukan transaksi pembayaran secara digital. Saya sendiri saat ini lebih suka bertransaksi secara digital dibandingkan harus repot menggunakan uang tunai setiap saat.
Peran Bank Indonesia dalam Mengedukasi Masyarakat untuk Bertransaksi Secara Digital
Sebagai pemegang kebijakan moneter dan satu-satunya bank sentral di Indonesia, Bank Indonesia (BI) memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan transaksi digital ini. Termasuk mengkaji kekurangan dan kelebihannya.
BI sendiri pernah mencatat, selama pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) saat pandemi Covid-19 pada bulan April 2020, kenaikan transaksi digital atau Uang Elektronik (UE) di Indonesia mencapai 64,48 persen secara tahunan. Termasuk volume transaksi digital yang tumbuh sebesar 37,35 persen secara tahunan.
Peningkatan yang besar ini membuat BI semakin aktif dalam memberikan edukasi dan sosialiasi kepada masyarakat terkait peraturan dalam melakukan transaksi digital. Di antaranya dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang penyelanggaraan uang elektronik untuk melindungi konsumen yang telah diatur dalam:
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/ 17 /PBI/2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
Selain itu, peningkatan transaksi digital juga membuat Bank Indonesia berkomitmen meningkatkan penggunaan QRIS (QR Code Indonesia Indonesian Standard), yakni standarisasi pembayaran menggunakan metode QR Code dari Bank Indonesia, di mana satu QR Code dapat dipindai oleh seluruh aplikasi yang menyediakan pembayaran dengan QR Code untuk beragam sektor, seperti pembelanjaan UMKM dan juga toko-toko retail tradisional.
Dengan penggunaan QRIS, kita sebagai konsumen tentu akan merasa lebih aman saat melakukan transaksi digital. Saya sih berharap agar semakin banyak generasi milenial yang sadar akan manfaat pembayaran digital ini. Yuk, bareng-bareng kita ciptakan generasi milenial go cashless!
Info lengkap tentang Bank Indonesia bisa diakses melalui akun sosial media berikut ini:
Twitter: @bank_indonesia | IG: @bank_indonesia | FB: BankIndonesia| YouTube: Bank Indonesia
1 comment
makasih sharingnya