“Saat bayi lahir, seorang ibu juga dilahirkan. Sebelumnya dia tidak pernah ada. Wanita itu
ada, tapi ibu, tidak. Ibu adalah sesuatu yang benar-benar baru.” Rajneesh
Kutipan di atas membuat saya mewek. Saya bukan seorang wanita, apalagi seorang ibu.
Tapi, bicara soal ibu membuat pikiran saya melayang jauh. Saya bersyukur hingga detik ini
masih dikaruniai seorang ibu yang punya hati seluas samudra.
Puluhan tahun silam, dari rahimnya saya hadir di dunia ini. Lewat perjuangan yang sampai
kapan pun tak pernah bisa saya rasakan. Ibu saya bertaruh dengan nyawa agar
semata-mata saya bisa bebas menghirup nikmat udara yang dianugerahkan Tuhan.
Jasa-jasanya tak mungkin bisa saya balas. Menulis artikel ini membuat saya seperti melihat
rekaman saat saya dilahirkan. Tahun-tahun di mana dunia kesehatan belum secanggih
sekarang.
Kisah Dokter yang Berjuang untuk Masyarakat di Masa Kolonial
Saya lahir di sebuah kabupaten di bagian barat Provinsi Jawa Timur. Tepatnya di Walikukun,
Ngawi. Jika dibilang terpencil sebenarnya tidak juga. Fasilitas kesehatan seperti RSUD
maupun klinik bersalin sudah banyak.
Bahkan, di kampung saya tinggal, rumah saya tak jauh dari salah satu rumah pahlawan
pejuang kemerdekaan (BPUPKI) yakni dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.)
Radjiman Wedyodiningrat (21 April 1879 – 20 September 1952).
Beliau adalah seorang dokter yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri
Indonesia. Hingga saat ini, rumahnya diabadikan menjadi sebuah museum.
Saya pernah berkunjung di rumahnya dan membaca singkat perjuangan beliau.
Selama menjadi dokter, beliau pernah bertugas memberantas penyakit pes di
Purworejo dan Banyumas. Dokter Radjiman kemudian bertugas di Rumah Sakit Jiwa
Lawang dan Rumah Sakit Sragen.
Tidak lama kemudian, Radjiman pernah diminta untuk menjadi dokter pribadi di
Keraton Susuhunan Surakarta. Lalu, pada 1909, ia memutuskan untuk pergi ke
Belanda melanjutkan pendidikan serta memperdalam ilmu kedokteran.
Kiprahnya untuk merawat masyarakat memang patut jadi teladan. Apalagi beliau
berjuang di masa masyarakat “untuk makan aja sulit”. Tantangan demi tantangan sudah pasti banyak. Kala itu, akses ke dunia medis masih terbatas. Alat-alatnya juga belum canggih seperti sekarang.
Langkah Awal Menuju Sehat, Nakes Pertama di Desa Uzuzozo
Melayang ke tahun 2024. Dunia medis sudah jauh lebih maju dan lebih canggih.
Dokter dan tenaga kesehatan makin banyak. Teknologi di bidang kesehatan juga
sudah berkembang pesat. Akses ke dunia kesehatan idealnya makin mudah
dijangkau masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah banyak yang
memiliki fasilitas BPJS.
Sudah sepatutnya siapa pun yang sakit mendapatkan hak-hak kesehatan yang
sangat layak.
Namun, apakah demikian?
Nun jauh di sebuah desa di padang gersang bernama Uzuzozo, Nusa Tenggara
Timur (NTT), tinggalah Theresia Dwiaudina Sari Putri. Salah satu pejuang kesehatan
yang mendapatkan apresiasi dari SATU Indonesia Awards.
Theresia Dwiaudina berjuang keras membantu masyarakat Uzuzozo untuk
mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak. Ini bukan cerita era kolonial. Pun bukan era atau tahun di mana saya dilahirkan di Ngawi. Ini adalah abad 21 di mana akses ke dunia kesehatan sudah jauh lebih mudah dan pastinya baik.
Bagi Theresia Dwiaudina mengabdikan diri menjadi nakes di desa Uzuzozo bukan
saja sekadar pengabdian. Lebih dari itu, baginya menjadi sosok penjaga kehidupan
adalah energi yang diberikan Tuhan untuk dialirkan ke masyarakat luas.
Tugas seorang nakes di daerah terpencil bukan saja sekadar mengobati di saat jam
kerja, lalu pulang setelah jam kerja habis. Selama lebih dari lima tahun Theresia
Dwiaudina harus siap menemani pasien hingga sembuh. Bahkan, sudah tak
terhitung berapa kali ia harus menemani pasien bertemu dengan Sang Khalik.
Kendala Penanganan Kesehatan di Daerah Terpencil
Buat Theresia Dwiaudina, bekerja sebagai tenaga kesehatan (nakes) di daerah terpencil
seperti di Desa Uzuzozo, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah tugas mulia yang penuh
tantangan.
Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang harus menghadapi berbagai kendala demi
memberikan layanan kesehatan yang layak bagi masyarakat di pelosok.
Beberapa tantangan yang dihadapinya di desa terpencil NTT, harus dilalui dengan semangat
pengabdian. Semangat dan dedikasi yang tulus, harus terus ditunjukkan.
Akses Transportasi yang Terbatas
Salah satu tantangan terbesar bagi nakes seperti Theresia Audina di NTT adalah
keterbatasan akses transportasi. Banyak desa terpencil yang hanya bisa dijangkau dengan
berjalan kaki atau menggunakan perahu kecil. Terutama ketika cuaca buruk memperparah
kondisi jalan.
Akibatnya, proses distribusi alat medis dan obat-obatan seringkali terhambat. Theresia
harus siap menghadapi medan berat ini untuk dapat menjangkau pasien mereka.
Fasilitas Kesehatan yang Minim
Di banyak desa terpencil di NTT, fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau klinik sangat
terbatas. Bahkan, beberapa daerah tidak memiliki fasilitas kesehatan sama sekali.
Theresia sering kali harus bekerja dengan peralatan seadanya, tanpa dukungan
laboratorium atau peralatan medis canggih. Hal ini menuntut kreativitas dan kemampuan
improvisasi agar tetap bisa memberikan layanan kesehatan yang memadai.
Kurangnya Tenaga Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan di NTT sangat terbatas. Di beberapa desa, hanya ada satu atau
dua tenaga kesehatan yang bertanggung jawab melayani seluruh populasi. Kondisi ini
menyebabkan beban kerja yang sangat tinggi bagi Theresia dan nakes lainnya.
Selain itu, kurangnya dokter spesialis membuat beberapa kasus medis yang kompleks harus
dirujuk ke kota besar yang memerlukan perjalanan jauh dan memakan waktu.
Tantangan Sosial dan Budaya
Menjadi nakes seperti Theresia di NTT juga harus berhadapan dengan tantangan sosial dan
budaya. Beberapa masyarakat masih memegang erat kepercayaan tradisional yang
terkadang berbenturan dengan praktik medis modern.
Hal ini bisa menghambat proses penyembuhan atau bahkan membuat pasien enggan
datang ke fasilitas kesehatan. Theresia Audina harus memiliki pendekatan yang sensitif
secara budaya untuk membangun kepercayaan masyarakat.
Kondisi Alam yang Ekstrem
NTT adalah daerah dengan kondisi alam yang cukup ekstrem, termasuk kekeringan
panjang, tanah yang tandus, dan cuaca yang tidak menentu. Kondisi ini memengaruhi
kesehatan masyarakat, terutama dalam hal kekurangan gizi dan penyakit terkait sanitasi
yang buruk.
Nakes sering kali harus menangani masalah kesehatan yang berkaitan dengan lingkungan,
seperti diare, malaria, hingga kekurangan gizi kronis yang kerap melanda anak-anak.
Kurangnya Pendidikan Kesehatan Masyarakat
Kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya kesehatan preventif juga menjadi
tantangan. Banyak masyarakat yang tidak terbiasa dengan gaya hidup sehat atau
perawatan kesehatan dasar.
Theresia Audina harus meluangkan waktu untuk memberikan edukasi kesehatan agar
masyarakat lebih sadar akan pentingnya kebersihan, gizi seimbang, dan imunisasi.
Dukungan Psikologis yang Terbatas
Selain tantangan fisik, nakes di desa terpencil juga menghadapi tekanan mental yang cukup
besar. Rasa kesepian karena jauh dari keluarga, ditambah dengan beban pekerjaan yangberat, membuat mereka rentan terhadap stres dan kelelahan.
Sayangnya, dukungan psikologis bagi tenaga kesehatan di daerah terpencil masih minim.
Theresia pun harus mencari cara untuk tetap menjaga keseimbangan emosional.
Keterbatasan Komunikasi dan Teknologi
Keterbatasan akses teknologi dan komunikasi juga menjadi masalah utama. Sinyal telepon
seluler yang buruk atau bahkan tidak ada, serta internet yang terbatas, membuat Theresia
sulit untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis atau mendapatkan informasi medis terkini.
Kendala seperti ini tentu saja memperlambat proses diagnosa dan penanganan kasus-kasus
kompleks.
Sinergi SATU Indonesia Awards dan Nakes untuk Layanan Kesehatan di Ujung Timur
Indonesia
Bagi Theresia Audina atau yang kerap dipanggil Dini, menjadi tenaga kesehatan di desa
terpencil Nusa Tenggara Timur adalah pengabdian yang membutuhkan ketangguhan,
keuletan, dan dedikasi tinggi.
Theresia tidak hanya menghadapi tantangan logistik dan
fasilitas, tetapi juga harus memahami dinamika sosial dan budaya masyarakat setempat.
Meski demikian, Theresia Audina Sari Putri tetap bertahan dan melayani dengan sepenuh
hati, karena ia sadar bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap individu, tanpa memandang
lokasi atau aksesibilitas.
Komitmen yang ia bangun selama ini akhirnya membuahkan hasil. Dini akhirnya diganjar
dengan SATU Indonesia Awards sebagai salah satu pemuda inspiratif.
Pengorbanannya adalah cerminan semangat kemanusiaan yang patut diapresiasi. Dampak
positif dan energinya semoga terus bisa menular ke seluruh masyarakat luas.