Sudah tau perbedaan Solo dan Yogya? Kalau belum, baca terus, ya. Yogya dan Solo, dua kota yang mewarisi budaya Jawa ini seolah merupakan dua kota yang serupa tapi tak sama. Sejak Perjanjian Giyanti tahun 1775, yang memecah kekuasaan Mataram menjadi dua yaitu Keraton Surakarta Hadiningrat atau Solo, nama lain dari kota Surakarta dan Ngayogyakarta Hadiningrat, keduanya, Yogya dan Solo kemudian menerima konsekuensi atas perjanjian tersebut.
Pakubuwono lll yang kala itu menjadi penguasa Mataram, memberikan semua warisan budaya Mataram lama kepada adiknya, Pangeran Mangkubumi yang berkuasa di Yogya, kelak bergelar Hamengkubuwono I. Semua budaya Mataram lslam Jawa klasik diteruskan sang adik, sementara Solo sebagai kakak, mengalah dan kemudian menciptakan budaya Mataram lslam Jawa yang baru yang banyak dipengaruhi budaya eropa. Hal ini tercermin dari peninggalan-peninggalan patung bergaya eropa yang terdapat di sekitar halaman Keraton Surakarta.
Baca juga:
11 Tradisi Jawa yang Sudah Langka
Jadi, jika kalian ingin melihat budaya Mataram lslam yang klasik, silakan kunjungi kota Yogya. Meskipun berbeda, Solo dan Yogya mempunyai banyak kesamaan. Keduanya sama-sama menjadi poros budaya Jawa yang dianut seluruh masyarakat Jawa. Jika bicara tentang pakem budaya Jawa, yang pertama kali menjadi pertanyaan adalah pakem gagrak (aliran), menggunakan gagrak Yogya atau gagrak Solo. Ini meliputi segala hal, mulai dari baju, gamelan, batik, wayang, adat pernikahan dan lain sebagainya.
Di sisi lain, keduanya mempunyai kesamaan dari segi bahasa, kosakatanya tidak jauh berbeda. Beberapa terminologi yang sering saya dengar berbeda adalah penggunaan kata “nuwun sewu” untuk Solo dan “nderek langkung” untuk Yogya. Keduanya mengandung makna yang sama yaitu permohonan permisi. Sementara dari segi citarasa makanan, kedua kota tersebut cenderung sama: manis. Ngomong-ngomong kalian tahu nggak sih perbedaan antara budaya Yogya dan Solo?
Simak 7 Perbedaannya Solo dan Yogya Berikut Ini
Blangkon
Blangkon adalah penutup kepala bagi masyarakat Jawa. Masyarakat nusantara, khususnya suku Jawa menganggap kepala merupakan bagian terhormat, untuk itu perlu diberikan pakaian khusus. Sebelum ada blangkon masyarakat Jawa selalu menggunakan ikat kepala yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai blangkon atau topi. Pada zaman kolonial seni lipat ini membutuhkan waktu lama untuk memakainya. Demi kepraktisan diciptakanlah blangkon seperti yang kita kenal sekarang.
Ciri khas blangkon kota Yogya adalah bagian belakangnya yang terdapat mondolan (benjolan) sebagai tempat gelungan rambut, karena adat zaman dahulu tradisi rambut pria dipanjangkan, sementara blangkon Solo cenderung trepes (rata) karena pada masa kolonial masyarakat Solo atau Surakarta mengikuti budaya cukur seperti orang eropa. Ciri lain jika dilihat dari depan blangkon Yogya lebih membentuk huruf “A” di bagian dahi, sementara blangkon Solo lebih melebar.
Surjan dan Beskap
Surjan merupakan baju laki-laki Jawa khas Yogya. Sering pula disebut baju takwa, surjan lebih banyak menggunakan motif bunga-bunga seperti yang sering dipakai Sri Sultan Hamengkubuwono. Sementara beskap merupakan baju laki-laki Jawa gaya Solo. Warnanya cenderung hitam, gelap atau solid. Baju lurik yang sering kita jumpai, umumnya dipakai oleh rakyat biasa, baju lurik terdapat di Jogja maupun Solo.
Wayang
Secara postur tubuh, bentuk wayang Jogja lebih kekar sedangkan wayang Solo berpostur jangkung dan lebih langsing. Bahu dan wajah wayang jogja lebih menunduk. Jika kalian hobi menonton wayang, dari tata cara memainkan hingga suara kecrekan dalang, juga bisa dilihat perbedaan antara wayang Solo dan Yogya.
Batik
Batik Solo cenderung berwarna coklat sogan, sementara ciri khas batik jogja berwarna dasar putih. Motif batik Jogja cenderung lebih besar, sementara motif Solo batik lebih kecil. Cara mewiru atau melipat kainnya pun berbeda. Wiru atau hiasan lipatan kain batik atau jarik Solo, pada bagian pinggiran yang berwarna putih disembunyikan, sehingga tidak terlihat dari luar. Sedangkan wiru kain jarik Yogya, bagian pinggiran kain yang berwarna putih ditampakkan atau diperlihatkan.
Gamelan
Secara sepintas gamelan Yogya dan Solo terlihat sama. Bagi orang awam yang tidak biasa melihat atau mendengarkan gamelan Yogya dan Solo, pasti susah membedakannya. Dari bentuk fisiknya, gamelan Solo cenderung lebih rapat susunannya, sementara Yogya justru sebaliknya, lebih renggang atau lebar. Selain itu warna dasar gamelan Solo umumnya berwarna coklat atau warna asli kayu dengan hiasan warna emas. Gamelan Yogya cenderung berwarna cerah seperti merah, hijau serta hiasan warna emas.
Bagi penikmat musik gamelan seperti saya, sangat mudah membedakan suara gamelan dari jenis gending-gendingnya serta cara memainkan alatnya. Gending-gending Solo cenderung dinamis dan berkembang, sementara gending-gending Yogya sangat klasik karena harus melestarikan pakem dan tidak boleh diubah.
Adat Pernikahan
Jika dilihat dari runutan upacara pernikahan, adat Solo dan Yogya tidak jauh berbeda. Satu-satunya perbedaan yang mudah terlihat adalah riasan dahi pengantin wanita. Solo menggunakan riasan dahi (paes) berwarna hijau atau hitam pekat dan Yogya menggunakan hiasan emas pada pinggiran paes
Keris
Keris sebagai pelengkap busana pria Jawa merupakan penanda kematangan bagi seseorang. Keris adalah senjata, diletakkan dibagian belakang saat menggunakannya bukan tanpa alasan. Ini adalah symbol bagi orang Jawa untuk tidak mengedapankan amarah yang membabi buta, hingga melukai seseorang dalam menyelesaikan suatu masalah. Sehingga posisi keris diletakkan di bagian belakang. Lain halnya jika dalam kondisi perang keris diletakkan di bagian depan.
Perbedaan besar antara keris Solo dan Yogya, dapat dilihat dari sarung penyimpannya atau biasa disebut warangka. Warangka pada bagian pangkal keris Solo cenderung lancip, sementara Yogya cenderung tumpul. Ornamen ukiran keris Yogya lebih sederhana, sedangkan keris Solo lebih bermotif dan halus.
Perbedaan Lain Antara Solo dan Yogya
Selain perbedaan dalam bentuk warisan benda dan tak benda, Solo-Jogja juga memiliki warna resmi masing-masing. Keraton Solo secara resmi menggunakan warna Bangun Tulak yang didominasi biru, sedangkan warna resmi keraton Jogja menggunakan warna Gadung Melati yang didominasi warna hijau.
Sudah tau kan perbedaan budaya Solo dan Yogya? Jika sudah paham, sebaiknya jangan sampai mencampuradukkan pemakaian simbol budaya tersebut. Menggunakan surjan Jogja dengan blangkon Solo adalah komposisi yang buruk. Selain tidak pas, umumnya nanti akan jadi bahan guyonan atau obrolan, so hati-hati ya sebelum memakai, jangan asal :). Bukan bermaksud untuk memperlebar perbedaan, tetapi, justru buat saya perbedaan dapat memperkaya khasanah budaya, serta tidak menghilangkan identitas.
Sebagai orang yang berdarah Jawa, sebisa mungkin saya berusaha untuk tidak menghilangkan apa yang sudah diwariskan oleh para leluhur. Jika ingin dijabarkan lebih detail lagi, tentunya akan sangat banyak perbedaannya. Apalagi perbedaan dalam upacara adat pernikahan, kelahiran hingga prosesi kematian.
Saya hanya mengambil perbedaan dari simbol yang mudah dilihat. Mudah-mudahan suatu saat bisa menuliskannya lagi. Sesungguhnya budaya adalah warisan untuk anak cucu kita, tidak selayaknya kita memutus warisan tersebut hingga berhenti sampai di zaman kita. Yuk, lestarikan budaya kita. Salam budaya.
112 comments
Mengulik dua budaya ini memang menyenangkan. Kalau nggak tau, bisa salah pakai baju/jarik ya, Mas. Selain perbedaan ini, Yogya dan Solo punya banyak banget persamaan.
Btw, ukuran motif batiknya juga beda. Yogya motifnya besar2, Solo kecil2. Konon mencerminkan karakter orang Solo yang lebih halus daripada orang Yogya.
Oh ya, Mas. Kok, aku lebih sering denger “nuwun sewu” daripada “nderek langkung” ya? Padahal Yogya 😀
Bener banget, 2 poros budaya Jawa ini memang menyimpan keunikan dan hal2 mengasyikan buat dikulik. Aku pun suka mempelajari 2 budaya tersebut. Btw, kalau sering dengarnya ‘kulo nuwun’ berarti lebih peka ngomong a La Solo. Hehehe
Whoaaaa…. Indonesia itu kaya ya… Bahkan yg sama2 Jawa pun ternyata punya ciri khasnya masing2 …
bener banget, musti paham 🙂
Mantul
Indonesia negeri berjuta budaya. Banyak kemiripan dari satu daerah dengan daerah lainnya, kita mesti jeli melihatnya.
Ada kesenangan dan kebanggaan tersendiri jika kita menelusuri sejarah dan budaya negeri kita tercinta ini.
bangga punya ragam budaya yang kaya
Itu cowok pakai surjan jenis apa ya
Polos keemasan
Kangen pengen ke yogyakarta. Suasanana adem dan orang2nya ramah.
menyenangkan memang tinggal di jogja
aku dari solo jogja juga ni mas, dan makasih dah kasih perbedaan ini, kadang aku suka nanya ma mamaku perbedaan itu. biasanya almarhum bokap jawanya lebih halus dan ngerti bahasa halus jogja dan ternyata beda dengan yang di solo. dan sekrang mas achi sudah sempat menerapkannya dengan lengkap hingga ke adat ttradisionalnya. makasih
semoga bermanfaat, Kak
Ulasan info yg menarik sekali! Saya baru tahu mengenai perbedaan kedua Kota tsb dr sisi sejarah yg merunut kpd tradisi budaya daerahnya.
semoga bermanfaat 🙂
Nice Article…
hehehe
Hmhmmm modelnya narsis juga yah…
mumpung punya koleksi pribadi 😛
Sebenernya ada banyak bedanya tentang solo dan yogya sih. Tapi overall udah di anuin sama mas achi semua…
gantian nunggu tulisannya, Bena
Untuk orang awam seperti saya semuanya terlihat sama, tapi ternyata setelah membaca ini jadi tau perbedaannya. Makasih untuk share informasinya.
memang susah dipahami untuk orang awam, apalagi bukan berasal dari Jawa 🙂
aku suka ketuker antara solo dan jogja apalagi batiknya. makasih mas achi, informatif banget.
aku suka ketuker antara solo dan jogja apalagi batiknya . makasih mas achi, informatif banget.
alhamdulillah kalau sekarang udah nggak ketukar-tukar 🙂
Maturnuwun Kangmas kagem seratan ingkang manfaat sanget. haha…
Gamelan Jogja belum pernah mainin… jadi penasaran.. nadanya sama kan? 🙂
sami-sami, Mbak Dewi, mugi migunani
Sanget Mas..hehehe
Ooh mengkonon yaa.. baru tahu ada perbedaan fashion yang kentara antara Solo dan Yogya.
yap, begitulah
Sebagai pemahaman budaya, tulisan mas Achi luar biasa informatif. Terimakasih
sama-sama, Kak Tuty
Mantap sekali tulisan nya Mas Achi.
hehehe
Oya, sebagai orang awwam kadang suka ga faham bedanya Solo dan Yogya, ternyata seru ya kalo ditelisik lagi. Makasii info detailnya, Mas…
memang seru buat ditelusuri, Kak
Lengkap sekali infonya mas..
Yg paling saya suka itu filosofi keris, kurang lebih sama seperti filosofi beladiri yg utk membela diri, bkn untuk berkelahi..
benar, Kak, keris untuk melindungi bukan untuk mengajak berkelahi
Aku ga kepikiran kalo ternyata pakaian kedua keraton tersebut ternyata berbeda, Mas. Dulu temanku yang orang Solo asli suka cerita tentang kerajaan mataram hingga terpecah menjadi dua seperti sekarang. Tapi dari cerita tersebut, ga ada sedikitpun cerita tentang perbedaan pakaian kedua keraton ini. Jadi artikel Mas Achi ini buat aku jadi tau kalo ternyata pakaian kedua keraton ini memiliki perbedaan.
2 kota ini memang unik dan asyik buat ditelusuri sejarahnya
Walaupun orang jawanya ternyata saya juga tidak tau banyak tentang perbedaan keduanya.. haha..
Terima kasih infonya mas achi.. menambah pengetahuan.. upgrade dikit kejawaannya ??
yes, biar gak dibilang Jawa murtad 😀
Hahaha aku banget tuh, sering dibilang jamur. Jawa murtad. Hadeehh… :))
Seperti di kalimat pembukaan yg mas achi tulis, itu aku pertama kali tau penjelasannya dari buku Kartini..
Informatif banget mas achi tulisannya dan foto2nya keren karena dari mas achi sendiri. 🙂
wah, aku belum pernah baca buku Kartini 🙁
aku belum baca buku Kartini
Aku yg ngaku orang juga baru tau ini
hehehe
ahhaha
Solo dan Yogya itu memang saudara yang terpisah ya mas, walau satu darah tapi memiliki karakter masing-masing. Kayak dulu aku pas di Yogya, temen-temen kalau bilang lapar itu ‘ngelih’ yang di solo gak pernah sekali pun denger. Hehe
sering dengar nih kata ‘ngelih’ tapi baru tau kalo itu lazim disebut di Jogja, Jogja-Solo memang serupa
Maaf mau melengkapi agar lebih spesifik, kalau Jogja, dalam pernikahan menggunakan riasan paès ageg, atau jogja putri, sedangkan kalau solo menggunakan riasan solo puri, perbedaan riasan Jogja dan solo yaitu, cengkorongan paes Jogja lebih lancip, pada riasan paes ageng pinggir cengkorongan nya diberi prada, sedangkan pada riasan solo, cengkorongan bentuknya lebih bulat, aksesoris nya pun juga beda, centung solo lebih simpel, sedangkan centung Jogja berbentuk melengkung, pengantin Jogja menggunakan kelat bahu,dan simping,sedangkan solo tidak,dan pada pengantin pria, pengantin Jogja menggunakan kalung susun,dan solo tidak, sanggul paes ageng lebih kecil dan ramping daripada solo putri. Dan jika dibedakan sangat mudah membedakan antara paes solo dan jogja
Baru tahu, kalau poster tubuh wayang antara Jogja dan Solo berbeda. Terimakasih infonya kak Achi
iya kak, posturnya beda
ulasannya bagus banget, tapi dr sisi kotanya masih berkesan yogya sih, kalau dr sisi hati…solo aga ndalem, karena pernah kesengsem sama gadis solo….dulu kala
jogja memang ngangenin, Kak
permah ke dua kota itu di liburan. dari Jogja naik prameks. Tapi keraton Solo, terutama museumnya seperti tak terurus beda dengan Jogja. btw, makasih infonya Mas Achi.
setuju, museumnya memang kurang terawat. tapi aku suka keduanya
Pas di Trowulan bukannya mas Achie mix n match Solo-Yogya yah? *Inimah gegara tentative sie ya ?
Hidup Solo! Tapi tetep Yogya dihatique #halah
iya sih, itu karena nggak sengaja, jadi nyampur jogja solo. cuma samirnya aja sih, yang lain jogja
Itu perbedaan dalam hal budaya dan alat-alat musik. kalau dalam makanan perbedaannya apa?
nanti ya kapan-kapan diulas 🙂
Tambahin cerita makanannya mas Achi, antara Solo dan Jogja
siap, Mas
Wih seneng baca tulisan mas achi… Apalagi pas dimulai perjanjian gianti.
Saya suka sejarah tapi ngga terlalu perhatian sama yg mas achi bahas. Saya lebih tertarik peristiwa.
Jadi tulisan mas achi bener2 nambah wawasan kejawaan saya. Thx mas.
Sekali2 coba bahas budaya ngapak mas hehe
saya juga sejarah, semoga bermanfaat
Mas Achi koleksi barang2 jawamu banyak amat, salah fokus aku. Itu baju dr lurik smpe beskap ada lohh…
mas Achi njawani tenan wes…
luamayan ya buat disewain 😀
makanan dari segi angkringan juga beda… walaupun sama konsep tapi isinya berbeda.. juoosss
memang dari asalnya nggak sama, di solo sebutannya HIK alias hidangan istimewa kampung
Wahh lengkap penjelasannya Mas Achi. Cuma lebih lengkap lagi kalo bahas kuliner Solo sama Yogya hehe.
siap, Kak, nanti kita bahas kulinernya 🙂
Mantap, jadi tau perbedaan solo dan yogya.
hehehe semoga bermanfaat
nah, baru tau kan bedanya paes Solo sama Yogya
padahal dekat ya kampungnya 🙂
siap, Bang
iya, mirip tapi beda
ahahaha nggak kuliah sastra Jawa, Kak, cuma suka aja, justru lebih gampang nyari lurik kalau di jogja. IMO
Ternyata Jogaja dan Solo seperti adek-kakak ya. Bravo Mas Achi, lanjutkan jgn sampai putus sampai anak cucu. Makhluk langka yg seperti ini …perlu dilestarikan , wkwkwkwk
Kalau saya lebih tertarik dengan batiknya mas. Kalau ke Pasar Beringharjo di Yogya sudah beberapa kali, ke Pasar Klewer di Solo yang belum pernah.
pasar klewer mirip beringharjo, Mas, IMO
Baru aja mau nyari tentang budaya jawa tengah dan yogya. Endilalah buka blog ini isinnya pas banget sama yg mau dicari.
semoga bermanfaat ya 🙂
Bahas budaya Indonesia itu memang enggak akan ada habisnya yaaaa, saking buanyaknya
Eh kalau boleh saran, kalau memang mau membandingka fotonya yang dipasang yg terlihat jelas bedanya. Misalnya yg kayak perbandingan keris solo dan yogya, kan bakal lebih informatif kalo ada gambar detail kerisnya, maklum orang indonesia itu lebih banyak visual. Hehehe, iya sih butuh effort banget buat dapetin gambar-gambarnya.
But anyway thanks for writing, senang ada yg mendokumentasikan budaya Indonesia.
sembah nuwun sarannya, dokumentasi sebisa mungkin punya pribadi, iya butuh effort kalau mau foto yang detil 🙂
bener, Kak Ines
Love Jawa, aku seneng dadi wong Jawa, aku asli Jawa 😀 eh tapi budaya di Indonesia semuanya keren-keren….
Bangga jadi Indonesia 🙂
Sebagai keturunan orang luar pulau jawa, tulisan ini sangat membantu membedakan mana budaya Yogya dan budaya Solo karena dilihat dari mata orang luar Jawa sama saja!
Waah, lebih banyak infonya. Aku hanya tau tentang berbedanya riasan wanitanya mas. Kebetulan mengulas tema itu pas nikahan putri presiden. hehe
Yogyakarta dan Surakarta menjadi rujukan pusat budaya jawa
Sebagai wong Jogja, aku baru tau perbedaan-perbedaan ini, hahaha. Kayaknya “nuwun sewu” juga lumrah diucapkan di Jogja, mas. Aku diajarinnya itu soalnya.
Kalau boleh sedikit menambahkan, orang Solo kayaknya lebih suka jajan di luar. Sementara orang Jogja lebih suka makan di rumah. Makanya bisnis kuliner lebih dulu booming di Solo. Menurutmu gimana?
Denger2, klo jogja keseniannya langsung dari Mataram. Lebih asli/dekat Mataramnya. Itu masuk dalam isi perjanjian giyanti. Maka kelihatan jogja lebih kuno. Di kraton solo banyak patung eropa. Di jogja ga ada. Beskap solo terpengaruh baju eropa juga. Solo lebih cerah ceria. Perkembangan seni tradisi lebih maju.
Klo mau lihat mataram yg asli, kunjungi jogja. Sebelum mataram dipecah, rajanya akrab sama kumpeni Belanda. Tapi ada pangeran yg ga suka. Di kraton solo banyak patung eropa. Di jogja ga ada. Coba klo dulu Mataram kompak melawan Belanda. Ga bakal ada gaya solo dan jogja. Belanda juga peduli restorasi candi2. Keren kan belanda itu?
mas Achi,
sependek yg saya tahu, PB III bukan kakak Sinuwun Pangeran Mangkubumi, mgkn yg dimaksud adalah PB II, Amangkurat IV punya 3 putra, PB II-Mangkubumi-Mangkunegara (ayah Raden mas Said).
Mangkubumi angkat kaki dr Keraton Surakarta pada masa Pemerintahan Kakaknya PB II, namun perjanjian Gianti di setujui pd masa PB III (putra PB II yang naik tahta oleh pengesahan VOC)…mekaten atur kulo, heee
nuwun mas koreksinya 🙂
Pakubuwana III itu paman pangeran mangkubumi yang menjadi Hamengkubuwono I, Pakubuwana II itulah yang merupakan kakak pangeran mangkubumi tapi lain ibu.
maaf dr beberapa buku yg saya baca, pangeran mangkubumi itu yg paman nya pakubuwono iii.krn pakubuwono ii adalah kakaknya pangeran mangkunegoro.
Terima kasih atas koreksinya
Kalau busana Mangkunegaran dan Pakualaman gimana, mas? Saya perhatikan, beskap Mangkunegaran berbeda dengan Kasunanan ?
saya belum tau bedanya 🙂
Artikel ini membantu banget nih. Soalnya sebelumnya saya mengira kalo budaya Jawa di Jogja dan Solo itu sama saja tapi ternyata ada perbedaan di antara kedua kota itu.
Tapi kalo menurut saya sih, budaya Jawa di Jogja dan Solo itu masih lebih banyak miripnya kalo dibandingkan dengan budaya Jawa di daerah pantura yang umumnya sudah berakulturasi dengan budaya Cina dan Arab.
Jadinya saya bisa lebih mengetahui kalo budaya Jawa itu sangat beragam.
maturunuwun
Tau tidak kalau solo dan Jogja bahasa jawanya paling halus yaitu menggunakan bahasa Jawa kromo Inggil . Logatnya aja beda dengan orang Jawa timur .
Bahasa Jawa juga memiliki tingkatan
Yaitu bahasa Jawa kromo Inggil , kromo , dan nggoko . Tapi bahasa Jawa nggoko itu salah satu bahasa yang kasar dan tidak baik untuk bicara dengan orang yang lebih tua . .. kalau bahasa Jawa kromo itu digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua . Seperti orangtua. Kromo Inggil biasanya digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua atau sepuh .
Jadi bahasa Jawa banyak jenisnya …..
The point is : Ingin mengetahui “Jawa Modern” datanglah ke solo. Ingin mengetahui “Jawa Klasik” datanglah k jogja.
walaupun berbeda tetap 1 yaitu indonesia
Jogja niku ngangeni, Solo niku ndhudhut ati. 🙂
keduanya memiliki budaya yang unik.. saya senang berkunjung ke dua tempat tersebut
Sudah lama sekali tak main ke solo dan ke jogja semoga suatu saat bisa kembali berkunjung kesana, terimakasih buat penulis di website ini
Baru aja nyari keyword pengantin basahan solo jogja, nemu ini. Sehat selalu
maaf setau sy, dr beberapa buku yg pernah sy baca paku buwono iii bukan kakak nya pangeran mangkubumi yg kelak jd hamengkubuwono, tetapi paman nya.paku buwono ii baru kakaknya pangeran mangkubumi.maaf klo salah.