Welcome to KSA, negara yang secara resmi bernama The Kingdom of Saudi Arabia. Salah satu negara yang menjadi impian bagi jutaan umat muslim untuk mengunjunginya. Negara yang bagi saya, ketika menyalakan channel NatGeo, seperti sedang dibacakan doa oleh seorang kyai.
Cuaca musim panas dengan suhu 40 derajat menyambut saya di bandara King Abdulaziz International Airport (KAIA). Kedatangan saya ke salah satu negara di Timur Tengah ini, tak lain dan tak bukan adalah untuk menunaikan ibadah umroh. Rombongan kami berjumlah 6 orang, yang terdiri dari 4 anak muda, 1 balita dan 1 lansia, ayah dari salah satu jamaah. Memang, tidak seperti jamaah umroh pada umumnya yang bisa berjumlah puluhan bahkan ratusan.
Setelah lolos melewati imigrasi dan security check point. Saya dan rombongan disambut oleh Pak Sudirman, beliau ini yang bertugas mengurus semua akomodasi kami selama di Mekkah dan Madinah. Mulai dari hotel hingga mobil Elf yang akan kami gunakan untuk city tour atau berziarah. Bahasa arabnya sangat fasih, meskipun wajahnya sangat khas orang lndonesia.
Kami hanya termangu, saat Pak Sudirman cas cis cus ngobrol dengan petugas bandara. Di antara kami berenam tidak ada satupun yang bisa berbahasa arab. Lebih dari 10 tahun beliau tinggal di Saudi Arabia. Selesai dengan urusan bagasi kami segera masuk mobil Elf yang sudah menanti di terminal kedatangan. Di dalam mobil, Mas Abdurrahman, selaku mutawif alias pembimbing ibadah umrah yang ditunjuk agen travel, sudah menanti.
Sekedar flashback, niat beribadah umroh ini sebenarnya sudah lama saya impikan. Akhir tahun lalu saya sengaja menuliskan keinginan ini dalam resolusi tahunan. Alhamdulillah di bulan ke 5 ini bisa terlaksana. Saya sangat percaya, bahwa semua doa-doa yang baik, yang tulus kita tulis, pasti akan dikabulkan olehNya. Entah mungkin dikabulkan secara langsung, dikabulkan nanti, ataupun diganti dengan yang lebih baik.
Banyak insight ketika saya melakukan perjalanan spiritual. Harap maklum, saya sendiri bukan tipikal orang yang religius. Beribadah saja masih belum sempurna, alhamdulillah diberi rezeki bisa mengunjungi Baitullah. Buat saya ini adalah puncak perjalanan hidup, agar saya selalu belajar bersyukur dengan kehidupan yang begitu indah, yang diberikan olehNya.
Dalam hidup kita membutuhkan jeda. Terlalu membosankan jika hidup berjalan lurus tanpa jeda. Umroh buat saya adalah jeda, mengistirahatkan sejenak beban pikiran dan fokus pada keikhlasan beribadah.
Mobil Elf membawa kami berenam menuju kota Madinah. Ya, perjalanan umroh saya akan dimulai dari kota Madinah Al Munawaroh. Kota di mana Rasulullah Saw dimakamkan. Kota Madinah berjarak sekitar 5 jam dari Jeddah. Pada mulanya, saya mengira negara arab itu seperti yang tergambar dalam film Aladin, di mana wilayahnya hanya terdapat gundukan gurun pasir dan unta-unta yang berbaris. Pemandangan yang terlintas dalam benak saya itu ternyata salah besar.
Jalur sepanjang Jeddah-Madinah lebih banyak didominasi bukit batu gersang. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah gunung-gunung batu tanpa penghijauan. Kalaupun ada tanaman yang tumbuh, mungkin hanyalah tanaman gurun, itupun tidak banyak. Gurun pasir yang indah, seperti yang saya bayangkan sebelumnya, jarang terlihat. Beberapa ekor hewan gurun liar, seperti unta dan domba, kadang terlihat di kiri-kanan jalan. Berteduh di balik pohon yang kuat tumbuh di panasnya gunung batu.
Saya jarang sekali menemukan pemukiman warga di sepanjang jalur Jeddah-Madinah. Kalaupun ada hanyalah satu dua bangunan yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Langitnya bersih tanpa awan. Boleh dibilang tempat ini memiliki “kesenjangan produktivitas” bila dibandingkan dengan bumi nusantara yang gemah ripah loh jinawi.
Mobil elf membawa kami dengan kecepatan 100-110 km per jam. Di jalur utama ini jarang terlihat kendaraan melintas. Jalur yang sepi ini membujur sepanjang 417 km dari kota Jeddah. Setara dengan jarak Jakarta-Banjarnegara. Tidak ada hiburan semacam musik di dalam mobil. Karena musik hukumnya haram di sini. Aktivitas utama yang bisa kami lakukan hanyalah berdoa ataupun membaca buku panduan ibadah umroh. Selebihnya kami istirahat tidur.
Sesekali Mas Abdurrahman memberikan arahan dos and don’ts selama beribadah. Di tengah perjalanan kami kelaparan. Saya meminta Mas Abdu mencarikan lokasi rest area supaya kami bisa makan. Yang saya ingat, terakhir kali kami mengisi perut saat berada di atas pesawat. Jangan dibayangkan jalur Jeddah-Madinah ini seperti Pantura yang dengan mudah menepi, dan mencari restoran ataupun rest area.
Beruntungnya, karena Mas Abdu ini tinggal di Mekkah, jadi dia tahu tempat makan yang cukup enak dan cocok dengan lidah kita. Dia memesankan kami nasi Mandhi, 2 nampan nasi Mandhi dengan topping ayam bakar dan daging domba, habis kami lahap. Saya sendiri memilih nasi Mandhi dengan topping ayam bakar, karena memang enggak doyan kambing. Nasi Mandhi ini terbuat dari beras Basmati yang memiliki tekstur panjang. Soal rasa, boleh dibilang sangat enak. Jauh lebih enak ketimbang yang pernah saya makan di Jakarta.
Kami menyudahi makan siang yang dilanjutkan sholat dhuhur dan ashar dengan cara dijamak. Jika tidak meleset, kita akan sampai kota Madinah sekitar pukul 5 sore.
Memulai ibadah dari Kota Madinah
Tepat sekitar pukul 5 sore, mobil kami tiba di depan hotel. Dengan sigap petugas hotel membantu kami memindahkan koper-koper menuju kamar di lantai 9. Pemandangan dari kamar hotel adalah jalanan di depan masjid. Hotel kami berada tepat di gate 15 Masjid Nabawi. Sekumpulan burung merpati terbang menghiasi jalanan.
Boleh dibilang suasana kota Madinah ini lebih syahdu bila dibandingkan degan kota Mekkah. Suhunya berkisar 35 derajat celcius, cukup panas memang, tapi tidak membuat badan kita berkeringat. Ini dikarenakan tingkat humiditynya yang rendah.
Sesuai rencana kami akan tinggal di Madinah selama 4 hari 3 malam. Hari pertama lebih banyak dihabiskan beribadah di masjid Nabawi. Energi dan semangat untuk beribadah sangat terasa di sini. Jika azan berkumandang, seluruh toko akan tutup, semua orang akan segera menuju masjid Nabawi untuk menunaikan sholat. Masjid ini terbuka untuk umum selama 24 jam. Tidak perlu takut haus karena ratusan galon air zamzam tersedia penuh. Petugas akan segera menggantinya jika kosong. Saya sendiri selalu berbekal tumbler untuk mengambil air zamzam dari masjid, supaya bisa diminum jika sedang di hotel.
Masjid Nabawi ini sangat luas, bisa menampung sekitar 600.000 jamaah lebih. Di pelataran masjid, puluhan payung-payung raksasa akan terbuka secara otomatis selepas azan subuh, dan kembali menutup menjelang magrib. Info yang saya tahu, pada pinggiran payung raksasa itu terdapat pita biru yang terbuat dari material khusus. Pita ini berfungsi menurunkan suhu hingga 8 derajat celcius. Maklum, suhu di Madinah bisa mencapai 50 derajat celcius pada saat musim panas.
Di dalam masjid suhunya jauh lebih dingin. Tidak seperti umumnya masjid-masjid di Indonesia yang sering dibuat bertingkat, masjid Nabawi hanya memiliki 1 lantai. 2 lantai di bagian basement hanya digunakan sebagai toilet dan tempat untuk berwudhu. Bukan area untuk beribadah. Untuk ke toilet kita menggunakan eskalator. Baru kali ini saya menemukan eskalator yang berfungsi khusus untuk menuju toilet.
Keunikan lain ketika beribadah di masjid Nabawi adalah: jika selepas sholat wajib kita akan dianjurkan imam untuk melakukan sholat jenazah. Mengapa? Karena jamaah di masjid ini berasal dari semua negara, dan bisa dipastikan ada yang meninggal di sana setiap harinya, karena jumlahnya puluhan hingga ratusan ribu. Imam akan memberitahukan jamaah untuk memimpin sholat jenazah selepas sholat wajib.
Hari kedua di Madinah, Mas Abdu mengajak kami mengunjungi Raudhah. Raudhah yang memiliki arti taman surga ini adalah, sebuah ruangan yang berjarak antara bekas mimbar Nabi Muhammad dan rumahnya yang sekarang menjadi makam beliau. Luasnya hanya sebesar lapangan bola basket. Penanda utama adalah ruangan ini diberi karpet berwarna hijau. Sementara semua karpet di masjid Nabai berwarna merah. Lokasinya berada di dalam masjid Nabawi.
Keistimewaan berdoa dan beribadah di sini adalah kita seperti di taman surga. Salah satu tempat yang paling mustajab untuk berdoa. Area di mana doa-doa akan dikabulkan. Itu sebabnya tempat ini tidak pernah sepi selama 24 jam. Jamaah umroh dan haji hanya memiliki waktu sekitar 30 menit untuk beribadah dan berdoa. Antreanya? Jangan ditanya, jamaah dari seluruh dunia tumplek blek di area yang hanya seluas 140an meter persegi. Apalagi untuk jamaah wanita yang waktunya dibatasi hanya selepas sholat subuh, dzuhur dan isya.
Untuk beribadah di sini kita bisa antre sekitar 1 jam-an. Pengunjung malam hari lebih sepi, tapi bukan berarti tidak berebutan dan berdesak-desakan. Antrean utama dibagi menjadi 2 ruang. Di luar itu antrean lebih panjang dan mengular. Butuh kesabaran memang, sebanding dengan mustajabnya doa-doa yang akan dikabulkan.
(bersambung..)
7 comments
MasyaAllah Mas Achi, baru permulaan cerita aja udah bikin mupeng banget ke Baitullah. Cerita tentang umroh selalu mengharukan, bikin pengen..semoga bisa segera menyusul.aamiin. ditunggu cerita sambungannya..
Subhanallah!
Semoga #BloggerEksis juga bisa mewujudkan resolusi perjalanan spiritual ke sana*
Suhu di Madinah bisa 50 derajat Celcius. Wow, panas banget ya…
Thanks ceritanya. Saya pun ingin segera melakukan ibadah umroh dan haji. Semoga selalu diberikan kesehatan dan rezeki buat dtg ke Mekkah dan Madinnah.Amiiin
MasyaAllah pengalaman yang sangat mengesankan ya mas. Wah asik ada kesempatan untuk menikmati makanan khas sana ya. Aku belum terwujud nih makan nasi Mandhi