Nggak terasa, hari ini udah di penghujung akhir tahun 2019. Buat sebagian besar orang termasuk saya, mungkin selalu melakukan refleksi terkait segala hal yang telah terjadi di 2019 dan membuat resolusi untuk meneropong tahun baru 2020.
Ya, saya bersyukur tahun ini banyak hal baru yang bisa saya lakukan. Di sisi lain, banyak juga ‘turbulensi’ di 2019 yang harus dilalui dan terkadang membuat saya ambyar. Sebenarnya, beragam turbulensi yang saya hadapi, sudah pernah diprediksi saat saya ngobrol bareng seorang sahabat. Wejangan dari sahabat saya ini bukan ramalan, tapi dia memberikan beragam analisis dan skenario jika suatu hal buruk terjadi.
Turbulensi dan Ambyar di 2019
Jujur, pada awalnya saya sadar kok, dengan segala konsekuensi terhadap pilihan hidup yang ingin saya dijalani. Setidaknya, saya punya tanggung jawab sebelum menjatuhkan pilihan untuk berpindah tangga. Termasuk dalam berinvestasi. Saya harus fokus dan sadar terhadap beragam kemungkinan turbulensi yang akan terjadi ke depan. Toh, namanya juga hidup. Nggak akan lepas dari beragam masalah, tetapi yang kadang bikin saya ambyar adalah turbulensi itu datang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Belum ada seminggu saya curhat “A” ke sahabat saya, besoknya udah kejadian. Padahal, awalnya saya pengin cari solusi dan skenario jika hal itu terjadi. Dan itu berulang, nggak cuma sekali dua kali.
Baca juga 5 Resolusi Ringan untuk Tahun 2018
Tapi dari sini saya jadi belajar banyak hal. Saya harus lebih sigap menghadapi turbulensi, karena saya yakin perubahan dan tantangan industry 4.0 bisa jadi akan datang jauh lebih cepat dari prediksi. Salah satunya cara adalah dengan menyiapkan fundamental finansial yang lebih kuat. Selain itu, mental juga harus dilatih agar siap dengan segala kemungkinan. Kehilangan sebagian aset yang sudah dibangun sekian lama tentu akan membuat kita sedih, marah, kesal, dan sebagainya. Namun, pilihan itu hanya akan menghabiskan energi.
Beruntungnya, dari awal saya sudah melakukan diversifikasi, dan sampai kapan pun nggak akan saya tinggalkan prinsip ini. Tidak menempatkan telur dalam satu keranjang. Intinya, supaya kalau keranjangnya jatuh, telur-telur itu nggak pecah semua. Di akhir tahun ini, setelah saya melakukan evaluasi neraca pribadi, saya bisa bersyukur pertumbuhannya masih positif, meskipun harus kehilangan aset hampir 20 persen. Setidaknya asset tersebut hilang karena saya hapusbukukan (write off) dari neraca, bukan karena bencana huru-hara atau force majeure. Asset tersebut saya masukkan ke dalam kolom daftar tagih atau dalam penyelesaian, nggak masuk ke dalam neraca.
Konsep write off asset itu saya adopsi dari perbankan. Maklum, dua belas tahun kerja di perbankan, saya harus belajar banyak hal bagaimana cara mengelola asset yang benar. Termasuk dalam melakukan pencadangan akibat kerugian investasi. Yap, mungkin buat kalian yang pernah atau sedang bekerja di perbankan dan sering membaca neraca, pasti pernah membaca pos PPAP alias Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Intinya, setiap asset pembiayaan yang disalurkan bank, akan dibuatkan cadangan kerugiannya. Jumlah besarannya tergantung dari klasifikasi atau aging pembiayaaan. Mulai dari pembiayaan lancar yang dicadangkan 0,5 persen hingga pembiayaan macet yang dicadangkan hingga seratus persen. Supaya kalau terjadi apa-apa, operasional bank tetap berjalan. Konsep pencadangan kerugian itu bisa kita adopsi untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk dalam hidup.
Okay, saya rasa cukup untuk curhatan ambyar di tahun 2019. Masalah ambyar-ambyar yang lain nggak perlu diceritakan. Banyak hal yang memotivasi saya agar terus semangat. Salah satunya saya teringat obrolan dengan mantan nasabah saya dulu seorang petinggi OJK. Kenapa si nasabah ini mau pilih bank tempat saya bekerja untuk berinvestasi, bukan bank lain yang memberikan bagi hasil investasi tinggi. Sementara marketing bank pesaing saya pernah menawarkan produk sejenis ke nasabah saya. Jawabannya adalah bank tempat saya bekerja telah dua periode melewati krisis moneter. Yakni tahun 1998 dan 2008 dan tetap eksis hingga sekarang. Ini bukti bahwa perusahaan yang bagus harus teruji dan pernah melewati titik terendah dalam perjalanannya, nggak cuma bisa menawarkan bagi hasil investasi yang tinggi. Bagaimana bank tersebut mampu melewati turbulensi dan keambyaran adalah bukti bahwa dia mampu mengelola asetnya dengan baik.
Titik Tolak dari Sebuah Perjalanan
Suatu ketika, saat ngelayap ke Kota Solo, saya nyrambangi sahabat lama yang sekian tahun nggak ketemu. Pertemuan singkat yang dipenuhi dengan obrolan ngalor-ngidul ini amat berfaedah buat saya. Sinambi wedangan di warung lesehan, saya menyimak dengan serius setiap obrolannya. Ada satu hal yang saya highlight dari wejangannya: “Orang seumuran kita sudah saatnya tidak menghambur-hamburkan waktu, semua harus produktif.” Kata-kata itu langsung nanclep di otak saya. Maklum, kita pernah berada di dunia profesi yang sama, punya hobi dan passion yang sama. Bedanya dia mampu konsisten, sedang saya nekat ‘balik arah, pindah tangga, dan mbakar prahu’.
Dari dia saya belajar banyak hal dan berani ‘menyebrang’ ke dunia profesi yang bertolak belakang. Memang, saya menyadari dan beruntung belum terlambat untuk mengambil keputusan di waktu yang tepat. Bisa jadi, bila saya mengambil keputusan untuk ‘menyeberang dan mbakar perahu’ 5/10 tahun lagi, momentnya sudah lewat. Teruntuk Mas Rhe Prasodjo, saya ngaturaken maturnuwun sanget atas tulisan-tulisanmu yang sering saya ‘contek’.
Melalui sebuah perjalanan, saya bisa merenungkan banyak hal bahwa setiap hidup ada fasenya. Bergaullah dengan teman-teman yang lebih muda supaya jiwa dan semangatmu tetap muda dan bisa menyerap energi mereka. Bergaullah dengan sebayamu supaya kau bisa menikmati momen hidup ‘saat ini’ dan bergaullah dengan mereka yang lebih sepuh agar pikiranmu tetap wicaksono dan ingat bahwa kamu punya harapan hidup yang sama dengan mereka. Ini supaya kamu bisa mempersiapkan diri saat tua nanti.
Terima kasih untuk tahun 2019 yang telah banyak memberikan warna hidup untuk saya. Selain keambyaran juga dengan blessings yang tak terhitung. Di tahun ini pula, keinginan saya untuk ngetrip ke negeri matahari terbit tercapai. Bersyukur bisa ketemu teman-teman baru dari blogger dan penulis seluruh nusantara. Bisa ngetrip gratis ke Jember, Palembang, dan Jawa Tengah dari kegiatan nge-blog. Tahun ini pula saya dan teman-teman komunitas gamelan Samurti Andaru Laras dan Bentara Budaya Jakarta bisa beberapa kali ngamen bareng dengan seniman dan artis professional: Mbak Lea Simanjuntak dan Ibu Dian HP dari hobi main gamelan. Buat saya yang seniman abal-abal ini adalah pencapaian yang luar biasa. Apalagi ngamen di panggung yang megah di hotel ternama.
Selamat datang tahun baru 2020. Meski dihantui dengan prediksi resesi global, tapi kita harus tetap semangat untuk berkarya dan berinovasi. Ingatlah bahwa selama kita hidup, turbulensi dan keambyaran akan tetap selalu ada. Semoga tetap sehat dan bisa menjelajahi dunia baru. Semoga bisa terus ngamen dengan teman-teman pecinta gamelan. Jangan lupa untuk terus menulis resolusi kalian di tahun baru. Kalau belum tercapai jangan takut. Berarti kalian harus tetap mengulang resolusi yang sama di tahun berikutnya. Ingatlah kuote dari Andrea Hirata: ‘Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.’, ‘Berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup”. Semoga cita-cita dan mimpi kalian tercapai di tahun 2020. Amiin.
2 comments
Sukses selalu buat bang Achy dan keluarga. https://YouTube.com/Hartoko Edo
amiiiin