Suatu sore, seperti biasa di sebuah warung kopi di bilangan Gandaria, saya tengah asyik menikmati secangkir teh leci favorit. Eits! Nggak salah nih, ngeteh di tempat ngopi? Ya, bisa dibilang saya memang lebih ‘British’ daripada ‘Amerika’. Saya lebih suka menikmati secangkir teh ketimbang kopi. Bukan karena saya nggak suka kopi, lebih tepatnya menghindari kopi.
Mungkin, buat sebagian besar orang, kopi adalah inspirasi. Tapi, teh lebih menenangkan buat saya. Apalagi teh jawa nasgitel. Akronim dari panas, legi (manis), kentel.
Sore itu, sambil ditemani secangkir teh, saya menunggu kedatangan sahabat lama yang biasa nongkrong bareng di warkop langganan tersebut.
“Piye, sehat?” Sapa saya setelah dia datang.
“Alhamdulillah, Mas. Sik ya, tak ngudut sik ning nduwur. Sirahku rada ngelu sithik saka kantor. Wis suwe, tho? Sorry ya, rada telat ki.” Jawab teman saya, Baskoro.
“Ya wis, kana.” Jawab saya singkat.
Baca juga:
Mengenal Dana Darurat yang Wajib Kita Punya
Saya dan Baskoro memang sama-sama berdarah Jawa Timur. Tapi, kami berdua jarang menggunakan dialek “cak cuk” seperti layaknya orang Jawa Timur-an. Maklum, kami berdua memang berasal dari Jawa Timur bagian barat yang dekat dengan perbatasan Jawa Tengah. Dialek kami cenderung ‘Mataraman’ ketimbang ‘Suroboyoan’.
Saya dari Ngawi, Baskoro dari Kota Reog Ponorogo. Di warung kopi langganan tersebut saya sering nongkrong sama Baskoro. Seorang ‘abdi dalem’ negara yang kantornya di sekitaran Jakarta Pusat.
Selain memiliki kultur yang sama, kami berdua basic-nya introvert, meski belakangan saya lebih menyebrang ke arah ekstrovert karena tuntutan sosial dan pekerjaan. Embuhlah!
Circle teman dekat kita ya itu-itu aja dari dulu. Tidak banyak. Tapi kalau sudah nyambung, bisa betah ngobrol berjam-jam tanpa jeda. Dari pagi sampai malam. Anehnya, kita biasa ngobrol di tempat yang sama dengan menu favorit yang sama pula.
“Piye, Mas. Ana isu menarik apa, ki?” Sapanya saat sudah selesai dengan urusan perngudutannya.
“Tau krungu istilah Generasi Sandwich tho? Piye, awakmu setuju ora karo istilah kuwi?” Timpal saya sembari menyeruput teh leci.
“Nek aku sih yo ra setuju, Mas. Kan wingi-wingi sempat viral ning Twitter. Apa meneh sempet dibahas juga karo beberapa financial planner.” Baskoro menimpali dengan semangat.
“Lha ning, njur piye nek enek bocah sing duwe wong tuwa sing ora duwe, terus enek anak-e sing sukses. Banjur kepiye, apa mbantu wong tua ki ra apik?”
“Misale, anak sing sukses tadi adiknya banyak.” Sambung saya.
Perdebatan kami terkait Generasi Sandwich berlangsung seru. Saya sendiri berada di posisi antara setuju dan tidak setuju. Setuju karena membantu keluarga adalah salah satu cara untuk berbakti kepada orangtua. Seperti halnya perintah agama. Tapi saya juga tidak setuju kalau ada orangtua yang melanggengkan dan menjadikan anaknya yang sukses menjadi sapi perah bagi keluarganya.
Peran dan tanggung jawab orang tua adalah mendidik membesarkan anak-anaknya tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan balasan apa pun. Apalagi menuntut anaknya yang mungkin sudah “mentas” membantu keuangan keluarga. Terlebih, jika si anak yang mentas tadi sudah berkeluarga dan memiliki keturunan. Bagaimana pun juga, dia punya hak untuk bahagia dengan kehidupan barunya.
Tanggung jawabnya akan semakin berat, jika si anak tadi harus membiayai adik-adiknya, sementara dia juga wajib untuk menafkahi pasangan dan keluarga barunya.
Karenanya, belakangan ini banyak wacana dari beberapa financial planner untuk mengampanyekan dan memutus Generasi Sandwich tadi.
Ngobrolin Generasi Sandwich, saya jadi teringat dengan salah satu novel klasik favorit: Para Priyayi. Bukan hanya novel tersebut ditulis oleh pengarang yang berasal dari daerah yang sama dengan saya, Ngawi, tapi juga alur ceritanya yang relate banget dengan kehidupan sehari-hari.
Sastrodarsono, salah satu tokoh dalam novel tersebut adalah contoh fiksi dari Generasi Sandwich yang cukup sukses pada zamannya. Bahkan, saya sendiri mempunyai julukan pribadi untuk tokoh semacam Sastrodarsono, yakni Umbrella Generation alias Generasi Payung.
Jika Generasi Sandwich diartikan seorang anak yang harus membantu keuangan orang tua serta memikirkan kelangsungan rumah tangganya sendiri, lain halnya dengan Generasi Payung. Generasi ini selain membantu keuangan dua keluarga sekaligus, dia juga membantu keuangan keluarga besar lainnya. Bisa keuangan pakde-budenya, paklik-buliknya, sepupunya, bahkan, kerabat jauh yang bisa jadi memiliki ikatan darah maupun tidak.
Sebagai orang Jawa yang sukses meniti karir sebagai priyayi, sosok Sastrodarsono harus mampu menafkahi keluarga besarnya. Nggak tanggung-tanggung, selain menafkahi keluarga inti, Sastrodarsono juga membantu menafkahi keponakan-keponakannya, termasuk Lantip, anak jadah yang lahir di luar pernikahan dari sepupunya dengan seorang penjual tempe.
Sosok seperti Sastrodarsono boleh dibilang sebagai Generasi Payung yang sempurna. Tidak hanya menafkahi tapi juga melindungi serta menjadi pengayom bagi keluarga besar beserta sanak kadang-nya. Lantip menjadi generasi yang sukses terdidik yang dipungut oleh Sastrodarsono. Bahkan, beberapa tetangganya diperbolehkan menggarap tanahnya menjadi lahan mekar sari.
Zaman boleh berubah, tapi value-value dari Generasi Payung tersebut menurut saya masih sangat relevan dengan budaya Indonesia. Bahkan, zaman Orde Baru dulu, pemerintah sempat menggalakkan GNOTA alias Gerakan Nasional Orangtua Asuh. Zaman di mana orang-orang yang merasa mapan dan berlebih, diimbau untuk membiayai anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk bersekolah.
Saya kurang tau apakah gerakan tersebut masih ada sampai saat ini. Tapi menurut saya gerakan berbasis moral dan finansial tersebut, merupakan program yang bagus untuk generasi Indonesia sebelum program Keluarga Berencana sukses digulirkan dengan program dua anak cukup.
“Lha, terus menurutmu piye, Mas. Apa saiki Umbrella Generation kudu dikampanyekan ulang?” Baskoro kembali melontarkan pertanyaan.
“Awak-e dewe lak ya butuh bahagia, tho. Masak iya kerja wis capek-capek jik diperes kudu nyangoni anak-e wong liya. Lha apa wong tuwane kuwi ra nduweni tanggung jawab kudu nyekolahne anak-e? Ora mikirne butuh-e keluarga mung mikirne enak-e nggawe anak thok. Nek ngunu aku yo gelem hahaha.” Baskoro menambahi.
Saya sendiri masih meyakini sosok-sosok Umbrella Generation seperti Sastrodarsono ini masih banyak di Indonesia. Khususnya di daerah pedesaan.
Buat saya, Baskoro, dan orang-orang yang tinggal di kota besar seperti Jakarta dengan biaya hidup yang tidak sedikit, menjadi seorang Sandwich Generation memang tidaklah mudah, kecuali kita mampu menjadi “Sultan Andara” seperti Raffi Ahmad. Beruntungnya, kami berdua tidak dituntut untuk itu. Kami berdua juga memiliki cara sendiri untuk berkontribusi terhadap keluarga. Saya dan Baskoro juga berusaha untuk memutus mata rantai generasi tersebut dan menggantinya dengan cara yang lebih fair.
Generasi Sandwich bisa diputus dengan bijak. Bagaimana pun juga, membantu orangtua merupakan bagian dari ibadah. Bahkan, sebagian besar orang menganggapnya sebagai berkah. Ini tidak salah. Bisa jadi dengan membantu keluarga akan menarik rezeki yang lebih banyak lagi. Ini pendapat agamis dari saya, orang yang nggak agamis.
Namun, banyak yang kurang bijak dalam memberikan bantuan untuk keluarga ini. Saya pernah mendapat curhatan dari seorang teman, yang akhirnya dia kesulitan secara finansial setelah diminta membantu kakaknya untuk membayar cicilan utang konsumtif akibat PHK. Teman saya ini gajinya habis untuk membayar cicilan kakaknya. Sementara dia sendiri juga bingung untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Kalau ini sih bukan membantu, tapi mengambil alih masalah. Mengatasi masalah dengan masalah baru.
Untuk membantu keluarga, solusinya menurut saya bisa dengan membuat rekening tampungan dana kebajikan. Seluruh anggota keluarga yang mampu dan sudah ‘mentas’ duluan, rembugan untuk menyisihkan dan mengumpulkan budget dana sosialnya setiap bulan dan ditampung ke dalam rekening dana kebajikan tadi.
Penyalurannya dibatasi setiap bulan hanya untuk kebutuhan pokok. Kebutuhan tersier biarkan mereka berusaha sendiri. Keluarga yang membutuhkan dana darurat juga bisa meminjam dari rekening ini, dan wajib mengembalikan jika sudah mampu, tanpa embel-embel bunga.
Ini lebih fair ketimbang seorang anak mengambil alih menjadi pemberi nafkah utama dalam keluarga, sementara orangtua dan anggota keluarga lainnya tinggal menerima ‘cadongan’ setiap bulan. Sistem ‘nyadong’ ini akan menjadikan anggota keluarga bisa menjadi parasit dan membuat kemampuan survival-nya tumpul.
Hanjur piye? Abot endi, Generasi Sandwich atau Generasi Payung? Atau pilih melanggengkan keduanya?
6 comments
Pas adegan ngobrol sama Baskoro, mereka-reka maksudnya begini kali ya. Paling kocak pendapat agamis dari seorang yang tidak agamis.
Kalau gw pribadi nangkepnya dari generasi sandwich itu berpesan pada yang muda- muda agar di waktu tua tidak merepotkan orang lain terlebih generasi selanjutnya. Entahlah, gw hanya bisa bersyukur ga di tuntut apa-apa sama orang tua.
Kalau Generasi Sandwich aku sering banget denger dan ngerasa relate banget. Kalau Generasi Payung jujur aku baru denger sih. Jadi generasi sandwich aja sebenernya udah susah, gimana kalau jadi generasi payung, ya? Hehe. Tapi bagaimana pun itu, ini bener-bener ngingetin aku Kak, untuk pintar-pintar manage keuangan. Jangan sampai uang habis untuk pos keuangan yang tidak pada porsinya. Oh dan lagi, wajib kerja keras juga untuk bisa menuai hasil yang maksimal. Hehe. Tapi tentu aja, jangan lupa dinikmatin sama diri sendiri. 😀
trimakasih, saya bisa bahasa jawa walau cuma nyobain logatnya dan membaca kalimatnya mas hihi.. eh abot endi itu kupikir nama orang ya abot si sandwich, endi si umbrella. Bukan yak? wkwkwkwk.. tapi keren mas achi, nulisnya punya style khas.
Nah, ini dia sandwich bahkan generasi payung. Berhubungan dengan buku parenting yang ku baca tentang sosok ayah yang harus memikirkan keluarga besarnya. Eh ujung-ujungnya ada pria yang sengaja menunda menikah karena sibuk membiayai kebutuhan keluarga besarnya.
Membantu sesekali boleh tapi kalau jadi tumpuan, big NO!
Kebetulan aku anak tengah, jadi ga merasakan generasi sandwich or an umbrella. Cuma sebisa mungkin aku bantu keluarga. Kalau kayak Raffi Ahmad begitu sih bisa jadi 2 generasi di atas ga masalah.
Saya baru tahu kalau ada generasi payung dalam istilah kekinian, kalau generasi sandwich nampaknya sudah familiar sekali, btw thanks mas untuk tulisannya.