“Tanah Ini Butuh Istirahat” Menggali Sukses Petani Organik Inspiratif

0 Shares
0
0
0

“Saya pengin punya kebun tanaman di rumah sendiri”

“Mantra” yang sudah lama diinginkan Joko. Jauh dari hiruk pikuk kota besar, di sanalah ia tinggal. Sedari kecil, Joko tumbuh di lingkungan petani tradisional yang sepanjang hidupnya mengandalkan cara-cara lama untuk bercocok tanam. Joko tumbuh di tengah sawah dan ladang milik keluarga yang selalu menggoda untuk diolah, dan angin selalu membawa harapan di setiap hembusannya.

Namun, seiring bertambahnya waktu dan usia, ia melihat perubahan yang tak bisa dihindari. Tanah yang subur, kini mulai tandus. Hasil panen yang dulu selalu melimpah, kini mulai berkurang. Penyebabnya tak lain adalah penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang berlebihan. Joko seolah melihat tanah sawah dan ladang milik keluarganya seolah berteriak meminta pertolongan.

“Pak, kita harus berubah,” kata Joko pada suatu sore.

“Berubah? Maksudmu gimana?” Tanya sang ayah sembari mengangkat cangkulnya yang berkarat.

“Kita harus mulai bertani organik, Pak. Jangan lagi pake pupuk kimia. Tanah ini butuh istirahat, butuh dihidupkan kembali.”

Ayahnya mengernyit. Baginya, kata-kata organik sangatlah asing. “Tanpa pupuk, bagaimana kita bisa panen? Itu cara lama, Joko. Petani tak lagi mau repot.”

Namun, Joko tak menyerah. Ia terus belajar, membaca buku, mengikuti seminar, dan mencari tau tentang metode pertanian organik. Ia belajar tentang pupuk kompos, cara mengolah tanah tanpa merusaknya, dan bagaimana hama bisa dikendalikan secara alami. Perlahan, ia berhasil meyakinkan ayahnya untuk memberinya kesempatan dengan ide barunya itu.

Joko mulai mencoba mempraktikkan metode pertanian organik dari sebidang tanah kecil di dekat rumahnya. Awalnya, hasil panen tidak begitu menggembirakan. Tetangga-tetangganya kerap kali meledeknya. “Joko, kamu ini petani atau tukang kebun main-main?” Mereka tertawa.

Joko tak gentar. Ia percaya pada proses. Tahun-tahun pertama memanglah berat. Menginjak tahun berikutnya tanah itu mulai membuahkan hasil. Sayuran yang ditanamnya tumbuh lebih subhr, lebih segar, dan rasanya lebih lezat. Ia pun mulai menjual hasil panennya ke pasar desa. Perlahan, orang-orang mulai tertarik. Mereka datang kembali, mencari sayuran yang ditanam tanpa bahan kimia.

Beragam sayuran organik

“Ini hasil organik? Tanpa pestisida?” Tanya pembeli yang penasaran.

“Tidak ada, Pak, Bu. Ini murni dari alam. Tanpa campuran bahan kimia.” Jawab Joko bangga.

Promosi dari mulut ke mulut membuat nama Joko mulai dikenal. Orang-orang kota banyak yang mencari produk organiknya. Ia bahkan menjualnya secara daring. Mengirimkan sayur-mayur segar ke kota-kota besar.

Kini, di desanya banyak petani muda yang mengikuti jejaknya. Mereka mulai beralih ke pertanian organik, meninggalkan cara-cara lama yang merusak tanah.

Dengan ketekunan dan keyakinannya, Joko membuktikan perubahan yang baik bisa terjadj. Tak hanya untuk dirinya tapi juga untuk keluarga dan seluruh desa. Tanah ladang yang dulu tandus, kini mulai subur. Di tengah ladang yang luas, Joko berdiri menatap bunga-bunga liar yang bermekaran. Ia tersenyum, tau bahwa hasil perjuangannya tak sia-sia.

Terkadang, perubahan memang datang dari orang yang berani berbeda. Joko dengan pertanian organiknya, telah membuktikan bahwa masa depan pertanian ada di tangan mereka yang mau berusaha menjaga alam.

***

Dari Joko, Muncullah Maya Skolastika, Petani Organik di Dunia Nyata

Maya Skolastika sumber foto Kompas

Cerita di atas memanglah fiksi. Imajinasi saya pribadi. Cerita yang hanya bisa saya bayangkan sedari dulu. Punya lahan pertanian organik yang luas dan subur di desa. Apa daya. Takdir membawa saya ke kota. Impian-impian punya kebun organik yang luas hanya bisa diwujudkan dalam kebun mini tabulampot (tanaman buah dalam pot).

Lahan perkotaan yang terbatas dan kesibukan yang kadang sporadis, membuat saya butuh “penyegaran timeline” dengan membaca kisah-kisah seperti Joko di dunia nyata.

Adalah Maya Skolastika, sarjana Sastra Inggris dari Universitas Negeri Surabaya tertarik untuk menekuni dunia pertanian. Membaca kisahnya seperti mem-flashback sebagian mimpi-mimpi saya bertahun silam.

Kisahnya “nyemplung” di dunia agriculture sebagai petani organik dimulai saat dirinya menyambangi Pulau Bali. Di Pulau Dewata tersebut, Maya untuk pertama kalinya menikmati jus sayur segar tanpa ada rasa tambahan layaknya jus sayur lainnya.  Maya yang tidak menyukai sayuran merasa tercengang. Benarkah yang ia seruput adalah jus wortel?

Ia pun mulai mencari tau ke pemilik kelas yoga di mana dirinya mencicipi jus wortel tersebut. Nyatanya, semua sayuran yang digunakan untuk membuat jus berasal dari kebun organik. Dari situlah Maya mulai tertarik untuk mengonsumsi sayur dan buah-buahan organik.

Semua ketertarikannya tak lepas dari peran sang instruktur yoga yang temui saat berkunjung ke Pulau Dewata. Maya pun mulai menggali konsep-konsep pertanian organik.

Merintis dari Modal Rp500ribu

Dengan bermodalkan Rp500ribu dari hasil mengajar les privat Bahasa Inggris, Maya bersama empat orang temannya menyewa lahan di Claket untuk diolah dan ditanamu sawi.

Maya dan teman-temannya tidak menggarapnya sendiri. Ia mulai mengolah lahan tersebut dengan petani lokal yang ada di Claket, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto. Hal ini ia lakukan lantaran Maya tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang pertanian. Termasuk saat akan memasarkan hasil panennya.

Di tengah perjalanan, hasil pertanian yang ia garap sempat merugi. Maya yang tak tau apa-apa soal pemasaran hasil kebunnya sempat bingung. Kerugian tersebut membuat dua temannya hengkang dari kerja sama sebagai petani organik yang mereka sepakati.

Beruntungnya, kejadian tersebut tak berlangsung lama. Maya akhirnya dikontak oleh salah satu pelanggannya. Bagai mendapat titik cerah, Maya pun mulai bangkit untuk menggeluti dunia pertanian organik yang ia rintis.

Ia pun melanjutkan usahanya. Maya mulai melebarkan sayap dengan menyewa lahan kosong yang sudah tidak diolah oleh pemiliknya. Lahan seluas 250m2 ia tanami dengan beragam sayuran.

Nasib membawa Maya ke salah satu manajer supermarket di Surabaya. Manajer tersebut memintanya untuk menjadi suplier sayuran organik sepreti sawi, wortel, selada, bayam merah dan bayam hijau ke beberapa supermarket di Surabaya.

Belajar Quality Control

Dia pun mulai belajar banyak hal. Mulai dari proses pemasaran hingga packing yang sesuai dengan standar quality control. Termasuk memilah jenis sayuran yang layak maupun yang sudah tidak layak jual.

Penjualan sayuran organiknya meningkat pesat. Guna memenuhi permintaan pasar, Maya bekerja sama dengan petani organik lainnya. Penjualannya sudah merambah ke kota-kota besar seperti Pontianak, Balikpapan, Pulau Bali, hingga Pulau Lombok.

Kesuksesan yang diraihnya bukan tanpa kendala. Beberapa kali Maya jatuh ke titik terendah. Banyak hal yang harus ia atasi. Termasuk saat harga sewa lahan terus naik. Ia pun mencoba beragam cara agar usaha yang dirintisnya terus eksis.

Dianugerahi SATU Indonesia Awards pada 2019

Kesuksesan Maya Skolastika menjadi petani organik milenial memang patut diacungi jempol. Semangatnya berjuang, merintas, hingga jatuh bangun mengelola pertanian organik akhirnya mengantarkannya pada finalis ajang Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU Indonesia Awards) pada 2019.

Selain menjadi penerima SATU Indonesia Awards, Maya Skolastika juga dinobatkan sebagai Duta Petani Muda Pilihan Oxfam Indoneaia pada 2016.

Mengapa Menjadi Petani Organik?

Pertanian organik bukan hanya tentang menanam tanaman tanpa bahan kimia. Ini adalah filosofi hidup yang mempromosikan keberlanjutan, kesehatan, dan keseimbangan ekosistem. Para milenial yang tertarik dengan gaya hidup sehat, perlindungan lingkungan, serta pengaruh positif terhadap masyarakat, membuat banyak anak muda yang tertarik terjun ke dunia pertanian organik.

Tanpa penggunaan pestisida sintetis atau pupuk kimia, pertanian organik membantu menjaga kualitas tanah, air, dan udara. Ini berarti kita tidak hanya menanam makanan yang lebih sehat bagi konsumen, tetapi juga berkontribusi dalam menjaga kesehatan planet kita.

Petani organik milenial berada di garis depan dalam hal inovasi. Maya adalah salah satu contoh anak muda yang menggunakan teknologi modern untuk pengelolaan pertanian. Inovasi ini diperlukan guna meningkatkan hasil panen tanpa merusak lingkungan. Dengan memanfaatkan teknologi, petani organik masa kini dapat menciptakan metode yang lebih efisien dan berkelanjutan dalam mengelola lahan.

Jadi, apakah kamu tertarik juga untuk menjadi petani organik milenial yang inspiratif?

 

 

 

0 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like