Di suatu senja yang hangat, dalam kesunyian sebuah desa, hiduplah seorang pria bernama Bayu. Bagi orang-orang di sekitarnya, Bayu dikenal sebagai sosok yang penuh renungan dan filosofi, tetapi tidak pernah terlihat terlalu serius dalam menghadapi hidup. “Bayu itu unik, ya. Dia selalu tampak tenang, entah sesulit apapun hidup ini baginya,” begitu gumam tetangganya.
Bayu pernah berkata kepada sahabatnya, “Hidup itu, Bagas, seperti permainan. Kita terlalu sibuk dengan detailnya, sering lupa bahwa pada akhirnya semuanya akan berakhir. Bagaimana pun kita bermain, pemenangnya bukanlah yang paling banyak mendapat pujian atau yang paling sedikit tersandung, tetapi yang paling menikmati permainan ini.”
Dalam kesehariannya, Bayu adalah pria yang jauh dari kesan serius, meski ia memiliki banyak pencapaian. Tidak sedikit dari teman-temannya yang heran mengapa ia tidak pernah merasa cemas akan masa depan atau menyesali masa lalu. Bagi Bayu, memaknai hidup dengan terlalu serius hanya akan menambah beban, sementara permainan ini sejatinya dimaksudkan untuk dihayati dengan santai.
Ketika teman-temannya disibukkan oleh ambisi mengejar mimpi dan kekayaan, Bayu memilih jalan hidup yang berbeda. Ia bekerja sebagai seorang petani yang sederhana, hidup minimalis sesuai dengan prinsip qonaah, merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang dimiliki. Setiap hari ia berjalan kaki menyusuri pematang sawahnya, menyaksikan matahari yang terbit dan terbenam, merasakan angin yang berhembus lembut, dan menyerap kedamaian yang mengalir dari alam.
Suatu hari, Bagas, sahabatnya sejak kecil, mengeluh tentang pekerjaannya di kota yang penuh tekanan dan persaingan. Bagas merasa stres karena tuntutan pekerjaan, dan kadang merasa iri melihat hidup Bayu yang tampak damai. “Bayu, apakah kau tidak pernah merasa tertekan? Bagaimana mungkin kau bisa menjalani hidup seperti ini tanpa cemas?” tanya Bagas, penuh rasa ingin tahu.
Bayu tersenyum. “Aku pernah merasa seperti itu, Bagas. Namun, seiring waktu, aku mulai menyadari bahwa hidup ini hanyalah permainan. Seperti yang sering kita dengar, hidup adalah panggung sandiwara. Ketika kita lahir, kita diberi peran, tetapi pada akhirnya, panggung ini akan kosong, dan kita hanya akan kembali ke asal kita. Jadi, mengapa kita harus terlalu serius?”
Bagas terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Bayu. Baginya, hidup adalah serangkaian tanggung jawab yang tidak bisa dipermainkan begitu saja. Namun, Bayu melanjutkan dengan penuh ketenangan, “Kita ini kadang terlalu serius, Bagas. Kita lupa bahwa ada falsafah yang bisa kita pegang: ngono yo ning yo ojo ngono — artinya, lakukan sesuatu, tapi jangan berlebihan. Menjalani hidup itu perlu dengan ringan, jangan sampai terlalu berat hati atau cemas akan masa depan.”
Bayu melanjutkan, “Orang Jawa sering bilang, ojo kebanteran mikir. Berpikir itu perlu, tapi jangan kebanyakan. Hidup ini bukan soal berpikir berlebihan, tetapi tentang menjalaninya dengan cara yang kita nikmati. Bukankah lebih menyenangkan bila kita bisa menjalani hidup dengan penuh kelapangan dan rasa syukur?”
Kata-kata Bayu tersebut menggetarkan hati Bagas. Selama ini, Bagas merasa bahwa ia harus mencapai sesuatu, memenuhi ekspektasi orang lain, dan membuktikan dirinya. Namun, pada saat itu, ia mulai memahami bahwa hidup bukan tentang penyeragaman atau paksaan untuk menjadi sempurna. Hidup hanyalah rangkaian pengalaman yang sesederhana menikmati alam, tertawa bersama sahabat, atau duduk tenang di bawah pohon besar sembari mendengarkan suara angin.
Ketika senja tiba, Bayu dan Bagas duduk di tepi sungai kecil, memandang matahari yang perlahan tenggelam. Bayu berkata, “Bagas, kamu tahu, orang tua dulu punya ajaran hidup yang sederhana namun penuh makna: ojo gumunan, jangan mudah terheran-heran; ojo getunan, jangan mudah menyesal; ojo kagetan, jangan mudah terkejut; dan ojo aleman, jangan manja. Itu adalah kunci agar kita bisa menjalani hidup dengan lapang dan ringan.”
Bagas mengangguk pelan. Kata-kata Bayu menggema di hatinya. Selama ini ia selalu ingin menjadi seseorang yang sukses menurut standar orang lain. Namun, di hadapan Bayu, ia mulai merasa bahwa ia juga berhak untuk menjalani hidup tanpa tekanan, bahwa ia bisa melihat hidup sebagai permainan yang menyenangkan.
Ketika malam tiba, mereka menyalakan api unggun dan berbicara panjang lebar. Bayu berbagi tentang caranya menikmati hidup. Setiap hari, katanya, adalah kesempatan untuk bermain, bukan dengan mengabaikan tanggung jawab, tetapi dengan menjalaninya tanpa beban. “Hidupku memang sederhana,” ucap Bayu, “Namun di situlah letak kesempurnaannya. Aku punya cukup waktu untuk memahami diriku sendiri, menghayati alam, dan membantu orang-orang sekitar. Aku merasa bebas.”
Dengan senyum tulus, ia berkata kepada Bagas, “Lepaskan saja, Bagas. Hidup ini adalah tempat di mana kita boleh gagal, boleh kalah, boleh bahagia, boleh sedih. Karena, pada akhirnya, seperti permainan, semuanya akan selesai. Pertanyaannya bukan siapa yang menang, tetapi siapa yang menikmati permainan ini dengan hati yang paling ringan.”
Malam itu, dalam cahaya api yang redup, Bagas merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mengerti bahwa hidup tak harus sempurna, tak harus memenuhi standar tertentu, tak harus membawa tekanan yang membuat dada sesak. Hidup adalah arena bermain, dan tak perlu terlalu serius dalam memaknai setiap langkah.
Bayu berhasil mengubah pandangan Bagas tentang hidup. Ia mengingatkan Bagas bahwa hidup tidak perlu dibawa terlalu serius. Bahwa sering kali, yang kita butuhkan adalah menerima hidup ini apa adanya, dengan kelebihan dan kekurangannya, dan membiarkannya mengalir seperti air sungai yang jernih.
Kisah mereka berakhir di malam itu, tetapi bagi Bagas, pandangan hidupnya tak akan pernah sama lagi. Kini ia memahami bahwa hidup hanyalah permainan, dan permainannya tidak ditentukan oleh siapa yang paling cepat mencapai tujuan, tetapi oleh siapa yang paling bahagia menikmati setiap detiknya.